Beberapa waktu lalu Harian Kompas memberitakan bahwa negara kita diambang krisis energi. Hal ini disertai data tentang menurunnya produksi migas dari tahun ke tahun, kemudian sulitnya ditemukan lagi lapangan migas baru, lalu diikuti dengan kedudukan Indonesia sebagai pengimpor minyak dan elpiji.
Benarkah? Menurut saya sebaliknya. Negara kita sudah berada di pusaran krisis energi itu sendiri. Buktinya, sudah beberapa bulan belakangan ini elpiji ukuran 5 kg sulit ditemukan di kampung saya. Sudah sulit didapat, harganya melejit melebihi HET, dan butuh waktu yang sangat lama untuk mendapatkannya.
Terbayang, kan, betapa dag-dig-dugnya kami saat memasak. Duh, gimana kalau gas mendadak habis dan masakan belum matang? Nah! Kami yang beli satu atau paling banyak dua tabung, jelas kalah dengan para pengecer atau bakul makanan laris yang sekali beli bisa sampai puluhan tabung.
Apakah karena daerah saya jauh dari kilang Pertamina? Menurut saya, tidak juga. Bertahun lampau, saat saya tinggal di sebuah kota di pesisir Kalimantan yang terdapat kilang dan kantor Pertamina, bahkan terdapat beberapa perusahaan migas asing, listrik sering padam dan menghambat aktivitas warga. Rupanya kota yang berada di lumbung energi tersebut juga mengalami krisis energi.
Perlu Terobosan
 Lihatlah, alam Indonesia sangat diberkati. Indonesia kaya akan potensi sumber energi baru dan terbarukan dari yang tinggal "memetik" seperti sinar matahari, gelombang laut, angin, air, dan panas bumi yang melimpah serta tersedia sepanjang tahun. Atau memanfaatkan sumber energi terbarukan yang perlu sedikit usaha untuk mendapatkannya, seperti biofuel dan biomassa. Â
Melihat realita itu, perlu kiranya kita segera mengubah pola pikir agar terbebas dari belenggu krisis energi. Sudah saatnya kita menikmati limpahan sumber energi untuk kemakmuran dan masa depan yang lebih baik. Untuk itu, kita harus berani mencoba dan melawan arus dengan memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari berbagai literatur, penelitian, dan juga pengalaman yang pernah saya baca, diketahui bahwa sumber energi baru dan terbarukan ini disebut-sebut sebagai energi alternatif yang bisa diperbarui atau diperoleh kembali secara alami melalui proses berkelanjutan. Energi ini juga lebih ramah lingkungan, lebih dekat dengan pengguna, dan harganya relatif terjangkau.Â
Sejahtera dengan Memanfaatkan Sumber Energi Baru dan Terbarukan
Tiap hari kotoran sapi "dipanen", disiram air, lalu ditampung dalam biodigester, sebuah wadah dari batu bata dan semen yang ditanam di dekat kandang. Fungsi utama dari biodigester adalah menghasilkan gas yang kemudian dialirkan ke dapur rumah warga lewat pipa. Nyala api yang dihasilkan pun biru dan stabil, cukup untuk pemakaian sehari-hari sehingga mereka tak perlu lagi repot mengantri gas.
Warga desa yang memiliki sapi kini telah bebas dari krisis energi. Mereka tak lagi bergantung pada bahan bakar elpiji untuk memasak. Biogas dari limbah kotoran sapi telah menyelamatkan mereka. Kotoran sapi yang dialirkan ke biodigester mampu menghasilkan gas untuk menyalakan tungku di dapur mereka. Mereka dapat memasak dengan leluasa tanpa khawatir kehabisan stok elpiji. Â
Walaupun hasil biogas baru dinikmati oleh pemilik sapi dan biodigester, namun penduduk di lereng Merapi itu bereksperimen lebih jauh lagi. Mereka mencoba melakukan "energiuntukinovasiberkelanjutan". Para petani itu membuat lompatan dengan memproduksi pupuk organik sendiri untuk tanaman di lahan pertanian mereka. Jadi, kini mereka tak lagi membeli pupuk kimia, yang selain mahal harganya juga mencemari lingkungan.
Melalui pendampingan sebuah yayasan, mereka membuat pupuk cair organik dari sisa limbah tersebut. Berkat air yang disiramkan ke kotoran sapi, kotoran encer tak mengendap dalam biodigester, tapi mengalir ke sebuah kolam penampungan.
Air tersebut kemudian ditampung ke dalam drum-drum atau wadah penampungan, dicampur dengan molase tebu dan difermentasikan selama seminggu, baru menjadi pupuk organik siap pakai. Bioslurry, namanya. Dengan pemakaian bioslurry, petani dapat menghemat pengeluaran karena tak perlu membeli pupuk lagi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berkat pengolahan kotoran sapi yang efektif dan tepat guna, dapat mengikis ketergantungan pada energi fosil, menumbuhkan kemandirian, tidak mencemari lingkungan, dan merangsang kreativitas untuk terus berinovasi.
Memang pada awalnya  penerapan sumber energi baru dan terbarukan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun hal itu sebanding dengan hasil yang diperoleh. Semoga langkah mereka ini dapat membuka wawasan dan menginspirasi kita tentang potensi sumber energi baru dan terbarukan di sekitar kita. Sudah saatnya potensi itu dilirik agar tidak terbuang percuma.   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H