Mohon tunggu...
kurnia putri
kurnia putri Mohon Tunggu... -

Menghitung adalah keahlian saya. Menghapal adalah kebiasaan saya. Membaca adalah hobi saya. Menulis adalah hidup saya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Student's Story

8 November 2011   02:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:56 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau murid kita sudah ngomong seperti itu, berarti kita adalah guru tidak berguna. Sepintar apapun seorang guru, kalau muridnya sendiri nggak paham perkataannya, berarti dia bukan guru yang baik. Sejenius apapun guru, kalau tidak bisa mentransfer pengetahuannya kepada murid-muridnya, lalu guru seperti apa itu? Ditambah lagi kalau sampai murid kita sendiri takut, benci dan cenderung menghindari kita, maka sebenarnya kita hanyalah orang yang pintar, bukan seorang guru.

Berdasarkan teori yang saya alami sendiri, sepintar apapun guru dan sebaik apapun ilmu yang diberikannya, ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada murid kalau muridnya tidak merasa nyaman dengan gurunya. Ketidaknyamanan itu bisa terjadi karena banyak hal. Oke, bahas satu per satu ya J

Suatu ilmu nggak akan bisa sampai kepada murid kalau muridnya takut sama gurunya. Takut pada guru akan berimbas pada ketakutan murid pada ilmu yang diajarkan guru tersebut, meski ilmunya sendiri tidak menakutkan. Sebaliknya, sesulit apapun pelajarannya, kalau murid suka dengan gurunya, biasanya mereka akan bisa menerima ilmu tersebut dengan lebih baik. (Inget pelajaran fisika waktu nulis ini :p )

Ilmu juga nggak bisa sampai kepada murid kalau muridnya membenci gurunya, atau gurunya juga balik sebal pada muridnya. Bagaimana mungkin cangkir bisa menerima air dari teko kalau cangkirnya ditutup atau tekonya tertutup? Kebencian adalah hal yang menutup hati dan pikiran kita dari ilmu-ilmu baik yang sebenarnya ada diantara guru dan murid. Sebaik apapun ilmu, jika disampaikan atau diterima dengan kebencian, ilmu itu tidak akan pernah sampai kepada muridnya.

Dan kebencian bisa datang dari banyak sumber. Sikap murid yang tidak hormat, atau sikap guru yang membuat murid jadi tidak hormat. Merasa diri paling pintar dan sikap merendahkan murid adalah salah satu yang paling menimbulkan kebencian.

Beberapa kali saya mendengar seorang guru berkata: “Ah, dulu saya bisa mengerjakannya kok. Kenapa mereka nggak bisa? Kan kita sama-sama makan nasi.”

Pernyataan tersebut bisa mengimplikasikan dua hal. Pertama, bahwa sang guru sudah bisa membaca dan berhitung sejak lahir (saking jeniusnya, sehingga tidak pernah menjadi orang bodoh). Kemungkinan kedua, bahwa saking pintarnya sang guru sekarang, beliau sampai lupa bagaimana rasanya menjadi tidak tahu.

Benar adanya bahwa para guru pastilah lebih berpengalaman daripada murid-muridnya sehingga beliau pasti sudah tahu bahwa soal-soal seperti itu bukan soal yang mustahil dikerjakan. Tapi para guru seringkali lupa bahwa beliau dulu juga pernah menjadi murid yang tidak tahu. Mereka lupa bahwa saat mereka masih muda dulu, soal-soal sepele itu adalah hal yang besar bagi mereka. Mereka lupa bahwa dulu mereka pernah merasa tidak bisa melakukan sesuatu sebelum akhirnya mereka menemukan cara untuk menyelesaikannya. Mereka bahkan lupa bahwa murid memang memiliki hak untuk bodoh, karena mereka hanya seorang murid. Mereka membayar sekolah untuk dididik, bukan untuk diklaim sebagai orang bodoh. Jika murid-murid itu sudah pintar, untuk apa lagi mereka sekolah dan kuliah? Para guru mungkin melupakan fakta penting itu.

Para guru seringkali lupa dan mengira para murid sudah sama pintar dan sama tahunya dengan mereka sekarang. Akibatnya mereka menjelaskan dengan terburu-buru, dan terlewat menanamkan pemahaman-pemahaman dasar yang dibutuhkan murid untuk memahami pengetahuan yang lebih tinggi. Hal-hal seperti itu yang membuat murid jadi frustasi dalam menerima pelajaran.

Ada kalanya saya berpikir, guru yang baik sebenarnya bukan hanya yang paling pintar, atau yang gelarnya paling panjang ya? Guru yang baik mungkin saja kepintarannya hanya bernilai delapan, tapi seluruhnya bisa diturunkan kepada murid-muridnya …. alih-alih guru jenius dengan kecerdasan bernilai sepuluh, tapi hanya sepertiga dari ilmunya yang bisa diturunkannya. Guru yang baik rasanya bukan yang paling pintar (bukan berarti guru tidak harus pintar. Tentunya seorang guru haruslah yang pintar), tapi juga yang paling memahami apa yang dibutuhkan muridnya untuk menjadi pintar. Sayangnya, kecerdasan untuk memahami murid tidak selalu berbanding lurus dengan kecerdasan intelegensia. Itu mengapa menjadi pintar jauh lebih mudah daripada menjadi seorang guru.

Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, untuk memahami seorang murid, nggak sesulit itu kan? Seorang guru juga pernah menjadi abege kan? Hanya saja mungkin ketika sudah terlalu lama menjadi guru, kita justru lupa bagaimana rasanya menjadi murid. Ketika kita beranjak dewasa, kita jadi lupa bahwa dulu kita juga sering melakukan kekonyolan-kekonyolan yang sama dengan para abege itu. Lupa deh kita bahwa kita dulu pernah juga bergaya “labil”, atau bahkan masih labil sampai sekarang, meski dalam bentuk yang berbeda. Kita juga lupa bahwa dulu kita adalah “galauers everywhere, everytime” bahkan oleh hal-hal yang sekarang kita anggap sepele.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun