Ada konsepsi aneh kalau sebuah penyakit tidak dibombardir media lagi berarti entah kenapa penyakit tersebut sudah lenyap saja. Ini jauh sekali dari kenyataan. Seperti COVID, penyakit ini tidak secara magis hilang saja karena orang tak lagi greget membicarakannya. COVID senantiasa ada, dan harus kita siasati bersama ribuan bahkan banyak sekali penyakit lain di sekitar kita. Termasuk antraks, yang timbul lagi di perhatian media dikarenakan kasus warga desa yang memakan daging mayat sapi yang sudah terkontaminasi. Kewaspadaan bukan berarti kita berubah paranoid penyakit, tapi memberi atensi khusus untuk pencegahan beragam penyakit dengan cermat menaati anjuran kesehatan yang terpercaya adalah sebuah kebiasaan yang harus dipupuk sedini mungkin.
Antraks muncul sudah lama sekali, tapi studi yang mencari obat untuk penyakit ini bermula di tahun 1800an. Â Antraks adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Nama bakterinya bacillus antrachis. Terlepas namanya yang keren, penyakit ini sangat menular. Biasanya bakal menunjukkan tanda-tanda gejala setelah sehari sampai dua bulan pasca kontak(bisa melalui inhalasi/menghirup, kemasukan bakteri melalui luka terbuka di kulit, atau dari pencernaan dari daging terkontaminasi) dengan sapi yang terjangkit antraks.Â
Gejalanya tampak dengan melihat apakah kulit mulai melepuh, panas tinggi, muntah-muntah, dan sesak napas(gejala antraks pada sapi juga dibarengi koordinasi tubuh yang tidak baik dan bagian-bagian tubuh yang membengkak penuh cairan). Pencegahannya melalui vaksin antraks dan perawatannya bagi yang sudah terjangkit adalah antibiotik. Walaupun ini bukan solusi yang seratus persen manjur, inilah yang terbaik masa kini. Ini berlaku untuk semua jenis penyakit sebab inovasi medis terus berkembang dan inovasi medis harus didukung rakyat, bisa melalui hal-hal kecil seperti menerapkan yang bisa diterapkan di keseharian contohnya patuh untuk pergi vaksinasi.Â
Banyak warga yang mengabaikan edukasi kesehatan karena terkesan tidak praktis. Ini bisa dikarenakan warga yang minat pendidikannya minim atau sebuah anjuran kesehatan tidak dikemas secara komunikatif. Eitherway, needs two to tango. Kedua belah pihak harus saling terbuka terhadap kritisi dan membangun titik temu. Sebab edukasi kesehatan pada dasarnya adalah demi kebaikan bersama, jika setiap individu tergerak untuk menjaga kesehatan maka penyebaran penyakit bisa dengan mudah dikontrol.Â
Edukasi kesehatan harus terus dibuat relevan tanpa harus menunggu diviralkan, dan masyarakat harus membuka hati untuk percaya pada anjuran kesehatan masuk akal dari inovasi medis. Edukasi kesehatan harus mencari balans yang tepat antara menjadi menarik serta tetap informatif. Sedangkan masyarakat harus menanamkan keterbukaan serta kewaspadaan tanpa menjadi korban data asal-asalan atau menjadi paranoid penyakit.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H