Mohon tunggu...
Nidya Utami
Nidya Utami Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis bagiku kayak berenang, kita harus punya napas panjang untuk merenung panjang demi sebuah tulisan bagus.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

MBTI dan Enneagram, Pseudosaintifik yang Seru

7 September 2022   17:28 Diperbarui: 7 September 2022   17:31 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Apa itu realita? Tentu ini pertanyaan yang sulit sekali. Ujungnya pasti tergantung individu. Disini subjektivitas bermain, apalagi berkait dengan kebutuhan. Walaupun filsafat punya andil menjelaskan poin-poin realita misalnya perasaan manusia meraih kesadaran baru yang digambarkan analogi Plato's Cave. 

Logika itu sendiri hanyalah peta untuk mencapai tujuan. Empiris kehidupan itu sukar untuk dilihat secara keseluruhan. Bagian pemikiran ini seringkali menjebak manusia untuk berkubang secara emosional atau berpikir berputar-putar. Maka, MBTI dan Enneagram menjadi daya tarik tersendiri. Sebab jatuh pada kategori pseudosaintifik, mengisi kekosongan antara utuh subjektif dan logika umum seperti sistem horoskop. 

Kupikir orang yang suka overemotional bakal suka dengan horoskop dan orang yang suka overthinking bakal suka dengan MBTI dan Enneagram. Inilah teritori aspek realita yang mirip kepercayaan pada Reiki atau aura badan, kalau bahasa sainsnya kan mungkin bioelectricity  tapi belum tentu keduanya bisa dikaitkan. 

MBTI dan Enneagram dinilai kurang konsisten dalam hasil tes serta pengelompokannya terkesan terlalu membatasi dalam hal pilihan kerja, makanya sistem Big Five lebih dipercayai komunitas sains yang berpatok pada mencari konklusi dari pengetesan akan generalities suatu kasus(pun ini bisa kena bias politik si penelitinya). Sudah banyak pihak yang meragukan MBTI dan Enneagram walaupun fansnya juga banyak sebab rasa tenang yang tercipta dari menemukan kotak masing-masing. Aku tidak memungkiri telah banyak belajar dari komunitas MBTI dan Enneagram yang sama halnya dengan komunitas horoskop, punya perspektif yang menyenangkan. 

Misal di MBTI dan Enneagram kita merasa terjamin masa depannya hanya dengan mengasah fungsi-fungsi kognitif dan variant stacking sesuai kajiannya. Seperti horoskop yang memberi nama simpel pada proses rumit otak saat memperhatikan pola berulang. Jadi saya kira menyikapi MBTI dan Enneagram secara apik adalah dengan mengambil poin-poin yang bisa dipakai di kehidupan praktis and leave the rest. 

Aku sendiri merupakan fans kasual MBTI dan Enneagram dan aku menulis ini karena merasakan keruwetan sistematis saat berupaya menerapkannya. Memupuk perasaan ambivalen pada suatu hal itu believe it or not diperlukan dalam pilihan keseharian dimana kita tak bisa sepenuhnya logis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun