Tapi, ini bukan artinya toleransi dan rasionalisasi untuk melegalkan penyimpangan perilaku. Tetap saja Setiap penyimpangan perilaku harus kita usahakan untuk dieliminasi dan dibatasi ruang geraknya.
Namun, yang dimaksud adalah bahwa tidak bisa mengambinghitamkan Pancasila hanya gara-gara masih terdapat penyimpangan perilaku dalam berbangsa dan bernegara, terutama oleh para pemegang kekuasaan di negeri ini pada berbagai level dan berbagai sektor.
Agama dan Pancasila sudah harmoni makna, apabila alat ukur yang digunakan bukan kepentingan tertentu dan terbatas. Dengan kepentingan tertentu hal yang sudah jelas duduk perkaranya menjadi abu-abu. Pancasila dan agama yang jelas-jelas sudah sangat harmoni menjadi tidak jelas dan konflik. Seolah-olah Pancasila di satu lembah dan agama di lembah lain yang tidak pernah terjadi komunikasi substansi. Jadi, kepentingan tertentu yang menjadikan bias persepsi kita. Substansi bernegara yang ideal sudah terkandung di dalam Pancasila, dan secara objektif merupakan turunan ajaran agama.
Sebagai citra idealitas, Pancasila tidak memiliki kekurangan. Haluan bernegara dan berbangsa sudah sangat jelas terumuskan di dalamnya. Harus diakui bersama, bahwa yang belum jelas sampai saat ini adalah pengamalan isi Pancasiladalam setiap langah strategis, baik langkah individu masyarakat maupun langkah organisasi negara.
Untuk hal ini kita perlu mengakuinya masih mengalami defisit.Wajar tentunya, Pancasila sebagai ideologi selalu menyajikan gagasan ideal, yang lumrahnya selalu terjadi benturan dengan kondisi real.
Tapi, jangan gara-gara realitas berbeda jauh dengan idealitas, lalu kita berhenti berbicara target-target yang ideal.Jangan putus asa dan merasa lelah untuk membicarakan hal-hal ideal dalam berbangsa dan bernegara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI