KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN ke-42 Tahun 2023 yang diselenggarakan di Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur menjadi momentum bagi Indonesia untuk kembali menunjukkan perannya di tingkat internasional. Indonesia kembali memegang Keketuaan ASEAN dengan tema "ASEAN Matters: Epicentrum of Growth" . Dalam KTT ini terdapat 16 isu yang menjadi pembahasan utama dimana salah satunya adalah penguatan konektivitas regional. Pembahasan ini kemudian dimanifestasikan dalam kesepakatan Konektivitas Pembayaran Regional atau Regional Payment Connectivity (RPC) yang ditanda tangani oleh lima bank sentral dari negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina.
    Pada penerapannya, negara negara pengguna RPC akan dapat melakukan pembayaran melalui QR Code tanpa melakukan konversi mata uang negara tujuan. Saat ini kerja sama RPC telah diiplementasikan pada tiga negara berbasis QR Code yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia.
    RPC menandai komitmen serius bagi negara anggota ASEAN untuk melakukan akselerasi integrasi ekonomi kawasan, setelah sebelumnya disepakati penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan secara bilateral atau local currency transaction (LCT). Terobosan ini bukan hanya menjadikan pembayaran lebih cepat, murah, dan transparan, tetapi juga menjadi upaya untuk meningkatkan hubungan ekonomi antar negara ASEAN, mengingat ASEAN masih memiliki beberapa pekerjaan rumah untuk diselesaikan terkait integrasi ekonomi.
Integrasi ekonomi ASEAN dan implikasi pemanfaatan RPC
    Integrasi ekonomi menjadi sebuah proses dimana sekelompok negara bekerjasama untuk mencapai kemakmurannya. Melalui integrasi ekonomi negara akan lebih mudah mencapai kemakmuran secara kolektif dibanding secara unilateral. Integrasi ekonomi ASEAN saat ini berbentuk pasar bersama, yaitu bentuk integrasi ekonomi yang memungkinkan setiap negara anggotanya menerapkan tarif eksternal yang seragam dan menghilangkan hambatan perdagangan barang, jasa, dan faktor produksi di antara anggotanya.
      Sebagai sebuah pasar bersama, ASEAN memiliki tingkat perdagangan intra kawasan yang cukup rendah. Hingga tahun 2021 tercatat perdagangan intra ASEAN hanya sebesar 21,2% yang artinya lebih dari 75% perdagangan negara ASEAN dilakukan dengan negara diluar ASEAN. Angka ini relatif minim dibandingkan kawasan integrasi ekonomi lain misalnya North American Free Trade Area (NAFTA) yang perdagangan intra kawasannya mencapai 40%[1]. Rendahnya tingkat perdagangan intra ASEAN menjadi pertanda bahwa integrasi ekonomi ASEAN belum berjalan maksimal. Padahal lemahnya integrasi ekonomi akan menyebabkan suatu kawasan kurang mempunyai daya tawar di tingkat internasional dan semakin rawan terdampak volatilitas saat terjadi krisis global, sehingga dirasa perlu bagi ASEAN untuk melakukan upaya dalam rangka memperkuat integrasi ekonomi nya.
Â
     Studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara penggunaan mata uang dengan signifikansi integrasi perdagangan di suatu kawasan. Mata uang kawasan yang paling sering digunakan akan mendorong integrasi perdagangan kawasan, hal ini terjadi karena hilangnya hambatan pertukaran mata uang dan semakin murah dan mudahnya biaya transaksi, juga mengurangi ketidakpastian mengenai cadangan devisa.
      Inisiasi konektivitas sistem pembayaran regional yang digagas Bank Indonesia melalui momentum keketuaan KTT ASEAN tahun 2023 menjadi suatu upaya strategis untuk mengakselerasi penggunaan mata uang lokal yang kemudian diharapkan mendorong integrasi perdagangan di kawasan. Cetak Biru MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) 2025 mentargetkan untuk meningkatkan perdagangan intra ASEAN dan menetapkan target 70 persen perdagangan intra ASEAN akan dilakukan dalam mata uang lokal.
      Integrasi ekonomi akan menstimulasi aliran perdagangan intra kawasan yang lebih tinggi, mendorong perusahaan untuk mampu berkompetisi secara global yang berujung pada peningkatan kemakmuran di seluruh kawasan. Hal ini sejalan dengan manfaat penerapan RPC sebagai fasilitas pembayaran lintas negara, mengurangi ketergantungan kepada dollar AS atau mata uang asing lainnya, kemudian mengurangi biaya transaksi dan meningkatkan daya saing para pelaku usaha khususnya UMKM di Indonesia.
Â