Diskursus mengenai gender hingga saat ini masih menjadi pembahasan hangat. satu dekade terakhir di Indonesia isu penyimpangan gender justru banyak menyita perhatian publik . Masih teringat di tahun 2016, ketika KPI(Komisi Penyiaran Indonesia) melalui surat edaran nomor 203/K/KPI/02/16 melarang adanya talent pria bergaya wanita untuk tampil di televisi. Pelarangan tersebut berasal dari tuntutan para orang tua yang menilai bahwa penampilan pria bergaya wanita di televisi tak patut menjadi tuntunan dari sebuah tontonan yang di konsumsi anak anak mereka.
Sorotan mengenai anggapan penyimpangan gender juga mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Wacana penolakan mahasiswa LGBT sempat tersiar dari sebuah perguruan tinggi negeri di kota Padang. Adalah UNAND(Universitas Negeri Andalas) yang beberapa bulan lalu mewajibakan calon mahasiswa baru mengisi formulir bebas LGBT sebagai salah satu syarat seleksi masuk.Â
Agaknya pembuat kebijakan di UNAND tak lagi berpedoman pada dasar konstitusi Republik Indonesia yang diserukan setiap hari senin dalam dua belas tahun masa pendidikan sebagai pelajar, yang berbunyi pendidikan adalah hak segala bangsa. Ya, segala bangsa tanpa terkecuali. Lantangnya seruan kontra LGBT masih santer terdengar dari berbagai pihak yang menganggap LGBT tidak sesuai dengan kultur luhur budaya Indonesia. Namun benarkah LGBT adalah bentuk penyimpangan dari budaya Indonesia ?
Meluruskan Sebuah Salah Kaprah
Berbagai wacana menyerukan LGBT adalah serangan budaya barat dan tidak sesuai dengan kultur Indonesia adalah sebuah salah kaprah alias kesalahan yang telah umum hingga tidak lagi dirasa sebagai sebuah kesalahan. Setidaknya ada tiga budaya asli Indonesia yang berkenaan dengan LGBT yaitu :
- Warok dan gemblak
Warok dan gemblak adalah sebuah manifestasi dari hubungan lelaki sesama jenis yang berasal dari ponorogo jawa timur. Dimana seorang warok adalah laki laki pelaku kesenian reog Ponorogo yang memiliki kesaktian. Pantangan bagi seorang warok agar tetap sakti adalah dilarang berhubungan dengan wanita. Sehingga warok pada umumnya mempunyai seorang gemblak atau "simpanan" yang juga berjanis kelamin laki laki. Hubungan sesama laki laki warok dan gemblak pada masanya dianggap hal yang umum ditengah masyarakat.
- Ragam gender dari suku Bugis
Suku Bugis dengan segala keunikannya mempunyai 5 jenis gender, yaitu laki laki atau oroane, perempuan atau makunrai, lelaki yang seperti perempuan disebut calabai, Perempuan yang seperti laki-laki disebut Calalai, dan juga bissu atau manusia tanpa jenis gender. Bissu dalam tradisi ini mempunyai keistimewaan dari segi spiritual yaitu bissu pada umumnya identik sebagai pemangku adat,pemimpin spiritual, dan tetuah di daerah tersebut.
- Rateb Sadati
Kesenian Rateb Sadati bersumber dari tulisan Leube Isa di Pidie, Nangroe Aceh Darussalam. Rateb sadati adalah sebuah tarian yang diperagakan oleh 15-20 lelaki dewasa(dalem) dan anak lelaki(sadati). Seorang sadati dalam tarian ini berdandan seperti perempuan. Hampir sama dengan seorang gemblak , pihak orang tua sadati menyerahkan anaknya untuk hidup bersama seorang dalem karena dianggap mampu memberikan kehidupan yang layak.
Konstruksi Gender dan Penjajahan Budaya
Penggunaan istilah gender selama ini masih mendatangkan banyak perdebatan karena secara biologis manusia hanya dilahirkan dengan dua jenis kelamin yaitu laki laki dan perempuan. Secara biologis pula, untuk dapat berkembang biak maka perkawinan seharusnya terjadi antara perempuan dan laki laki.Â
Tetapi sebenarnya definisi gender tidak terpaku pada jenis kelamin secara biologis saja. Gender menurut West and Zimmerman (1977) didefinisikan bukan sebagai sifat personal yang alamiah, melainkan suatu bentukan atau konstruksi sebagai respon dari berbagai situasi sosial yang membutuhkan peran maskulinitas dan feminitas. Identitas gender sebagai laki laki dan perempuan juga bukan hal yang menetap, dan sangat bisa berubah secara konstruksi sosial (Diamond, L. M., & Butterworth, M, 2008).