Mohon tunggu...
Nidda Amirotul Qoriah
Nidda Amirotul Qoriah Mohon Tunggu... Penulis - MBS (Muhammadiyah Boarding School) Yogyakarta

Pengajar di MBS Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memilih Pesantren yang Baik

9 Oktober 2022   11:46 Diperbarui: 9 Oktober 2022   11:47 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pesantren” sudah tidak asing di telinga orang kita, orang-orang Indonesia. Pesantren menjadi tempat menimba ilmu yang disediakan sesuai kurikulum yang digunakan dalam pesantren itu. Pesantren sekaligus wadah untuk mengasah kepekaan sosial, leadership, kemandirian dan bekal-bekal kehidupan lain yang amat penting untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pesantren sudah ada jauh sebelum nama Indonesia dideklarasikan pada Kongres Pemuda II (1928).

Peran pesantren mencetak generasi-generasi kuat dan adiluhung untuk bermanfaat bagi manusia dan kenaikkan martabat manusia dan kemanusiaan. Hingga saat ini, di zaman modern di mana  teknologi informasi telah berkembang begitu pesatnya, keberadaan pesantren-pesantren tidak lantas memudar dan luntur begitu saja. Cukup membuktikan bahwa pesantren memiliki manfaat yang dirasakan oleh masyarakat luas.

Sebuah pesantren memiliki sistem aturan, para guru, kiyai dan santri. Pesantren yang baik tentu memperhatikan poin-poin pendidikan yang menjadi nilai dasar berdirinya sesuai cita-cita luhur para pendiri pesantren. Pada prosesnya, pendidikan di pesantren selalu diwarnai dengan dinamika beragam dari seluruh civitas pesantren, karena pesantren mendidik para manusia yang juga dinamis, bukan mendidik robot yang terprogram sesuai keinginan pembuatnya. Banyak terjadi kekeliruan, kesalahan dan khilaf adalah hal wajar selama ada di koridor pendidikan, selama dilakukan evaluasi terus-menerus untuk memperbaiki kualitas santri dan pengajar dari segi akhlak dan keilmuan.

Apabila terjadi insiden buruk yang dilakukan santri atau bahkan ustadz yang tidak mengenakkan, kemudian disorot media atau para nitizen atas nama pesantren tidaklah menjadi sesuatu hal yang bijaksana. Mestinya menggiring berita sesuai dengan fokus masalah, menelisik hingga akarnya, baru kemudian menyimpulkan dengan mempertimbangkan dari berbagai aspek. Seperti peristiwa meninggalnya salah satu santri Ponpes Darussalam Gontor, inisial AM (22/8/2022) karena hukuman dari kakak pengurus dalam kegiatan perkemahan, jangan lantas memanas-manasi menteri agama untuk tutup pesantren tanpa mempertimbangkan banyak hal. 

Bagaimanapun, kiprah Gontor kepada bangsa tidak bisa dianggap kecil dan remeh. Gontor turut mengentaskan problem sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan. Mestinya narasi yang diutamakan adalah meminta pesantren untuk meninjau dan mengevaluasi kegiatan, meminta polisi mengusut masalah, menindaklanjut pelaku tanpa menimbulkan kericuhan lain.

Termasuk masalah yang mengguncang nama pesantren Majma’al Bahroin, Jombang karena tindakan bejat yang dilakukan seorang anak kiai pendiri yang juga pengajar disana, Mas Bechi dengan mencabuli santriwatinya. Tidak tepat bersuara untuk menutup pondok. Tindakan tegas memang harus, namun mesti hati-hati dan bijaksana. 

Apakah tindakan itu berkaitan dengan ajaran yang diajarkan oleh para pengajar pondok atau hanya akal-akalan Mas Bechi saja. Bila terdapat penyelewengan cara pandang atau ideologi atau apapun yang bertentangan dengan sendi ajaran Islam, mestinya ini baru ranah kementrian agama untuk menindaklanjuti.

Apabila akibat hal-hal seperti diatas kemudian melabeli sesuatu yang negatif kepada pesantren, maka saya masuk dari golongan orang-orang yang tidak setuju. Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan dan berdirinya sudah berizin mestinya mengantongi nilai-nilai luhur untuk digaungkan dan diterapkan kepada seluruh civitas pesantren. Nilai-nilai luhur ini mestinya dilihat, dicek dengan seksama apakah diejawentahkan atau diabaikan di dalam melaksanakan kegiatan pendidikan.

Nilai-nilai adiluhung itu adalah nilai keikhlasan, kejujuran, kedisplinan dan kekeluargaan. Keikhlasan menjadi ruh ustaz/ustazah di dalam mengajar. Adapun kejujuran menjadi nilai untuk membuka pintu keberkahan. Kejujuran menjadi karakter dasar baik pengajar maupun santri. Selanjutnya, nilai yang mestinya terbangun adalah kedisiplinan. Berat untuk membiasakan disiplin apalagi kepada guru, ustaz atau ustazah. 

Nilai terakhir adalah nilai kekeluargaan. Pondok pesantren sebagai tempat dimana anak-anak dari berbagai suku, budaya daerah dan tempat yang berbeda-beda berkumpul dan diwadahi, sehingga poin saling mengingatkan, menasehati, menguatkan itu mestinya ada dan membentuk karakter civitas pesantren.

Pesantren yang memiliki ke-empat nilai tersebut layak diperjuangkan, dipertahankan dan dirawat oleh segenap lapisan masyarakat. Karena hakikatnya, pesatren bukan tempat yang hanya membangun fisik dengan bangunan indah, namun pesantren turut membangun peradaban, menyiapkan generasi terbaik, dan turut membangun ruhiyah peserta didik dari sisi adab. Patut disayangkan bila ada sebagian yang membangun, sebagian lagi menghancurkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun