PEMBAHASAN
Hukum Perdata islam di indonesia latar Belakang sejarah dan perkembangannya
   A.Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia.
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam samalah artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Benarlah apa yang dikatakan oleh Joseph Sacht, tidak mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukkan bahwa hukum sebagai sebuah institusi agama memiliki kedudukan yang sangat signifkan.
Islam masuk ke Indonesia pada abad 1 H atau abad VII M yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Tidaklah berlebihan jika era ini adalah era di manahukum Islam untuk pertama kalinya masuk ke wilayah Indonesia. Namun penting untuk dicatat, seperti apa yang dikatakan Martin Van Bruinessen, penekanan pada aspek fkih sebenarnya adalah fenomena yang berkembang belakangan. Pada masa-masa yang paling awal berkembangnya Islam di Indonesia, penekanannya tampak pada Tasawuf. Kendati demikian, hemat penulis pernyataan ini tidaklah berarti fkih tidak penting mengingat tasawuf yang berkembang di Indonesia adalah tasawuf Sunni yang menempatkan fikih pada posisi yang signifkan dalam struktur bangunan tasawuf Sunni tersebut.
Beberapa ahli menyebut bahwa hukum Islam yang berkembang diIndonesia bercorak Syaf'iyyah. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti sejarah di antaranya, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah seorang ahli agama dan hukum Islam terkenal pada pertengahan abad ke XIV M. 8Â Melalui kerajaan ini, hukum Islam mazhab Syaf'i disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di kepulauan Nusantara. Bahkan para ahli hukum dari kerajaanMalaka (1400-1500 M) sering datang ke Samudra Pasai untuk mencari kata putus tentang permasalahan-permasalahan hukum yang muncul di Malaka.
    B. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat ke dalam dua bentuk. Pertama,adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC (VereenigdeOotsIndischeCompagnie) yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum adat. Berangkat dari kekuasaan yang dimilikinya VOC bermaksud menerapkan hukum Belanda di Indononesia, namun tetap saja tidak berhasil karena umat Islam tetap setia menjalankansyariatnya. Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di Indonesia (1602-1800 M) hukum Islam dapat berkembang dan dipraktikkan oleh umatnya tanpa ada hambatan apa pun dari
VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC ikut membantu untuk menyusun suatu compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dan berlaku di kalangan umat Islam.
Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka seperti yang terlihat nanti sikap Belanda berubah terhadap hukum Islam, kendati perubahan itu terjadi perlahanlahan.Setidaknya perubahan sikap Belanda itu dapat dilihat dari tiga sisi: pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang memiliki sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua,menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan proyek Kristenisasi.Ketiga, keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia.Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda
    C. Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang.
Setelah berkuasa lebih kurang hampir tiga setengah abad lamanya, akhirnya Pemerintahan Belanda dapat dikalahkan oleh Jepang hanya dalam tempo dua bulan yang menandai berakhirnya penjajahan Barat di bumi Indonesia. Namun bagi Indonesia sendiri peralihan penjajah ini tetap saja membawa kesusahan dan kesengsaraan bagi rakyat.
Dalam konteks administrasi penyelenggaraan negara dan kebijakan-kebijakan terhadap pelaksanaan hukum Islam di Indonesia terkesan bahwa Jepang memilih untuk tidak terlalu mengubah beberapa hukum dan peraturan yang ada.Sebagaimana Belanda pada masa-masa awal penjajahannya, rezim Jepang sekarang mempertahankan bahwa "adat istiadat lokal, praktik-praktik kebiasaan, dan agama tidak boleh dicampurtangani untuk sementara waktu, dan dalam hal-hal yang berhubungan dengan urusan penduduk sipil, adat dan hukum sosial mereka harus dihormati, dan pengaturan yang khusus diperlukan adanya dalam rangka untuk mencegah munculnya segala bentuk perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.
    D. Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan
Salah satu makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebasnya dari pengaruh hukum Belanda. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptietidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan AlQur'an dan Sunnah Rasul.Hazairin menyebut teori receptie sebagai teori Iblis.
     E. Hukum Islam Pada Masa Pemerintahan Orde Baru
Era Orde Baru yang dimulai sejak keluarnya surat perintah sebelas Maret 1966, pada awalnya memberikan harapan baru bagi dinamika perkembangan Islam khususnya hukum Islam di Indonesia. Harapan ini muncul setidaknya disebabkan oleh kontribusi yang cukup besar diberikan umat Islam dalam menumbangkan rezim Orde Lama. Akan tetapi, dalam realitanya, keinginan ini bertubrukan dengan strategi pembangunan Orde Baru, yaitu marginalisasi peranan partai-partai politik dan menabukan pembicaraan masalah-masalah ideologis (selain Pancasila) terutama yang bersifat keagamaan.
Prinsip-PrinsipPerkawinan dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
   A. Perspektif Fikih.
Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikahyang bermakna al-wathi' dan al-dammu waal-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu waal-jam'u, atau 'ibarat 'anal-wath' waal-'aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.Beranjak dari makna etimologis inilah, para ulama fikih mendefniskan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Untuk lebih jelasnya, beberapa defnisi akan diuraikan di bawah ini seperti yang dijelaskan oleh Wahbahal-Zuhaily sebagai berikut."Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta' (persetubuhan) denganseorang wanita, atau melakukan wathi`, dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan"
   B. Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam Pasal 1 ayat 2 perkawinan didefnisikansebagai:"Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalahKetuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.
    C. Perspektif Kompilasi Hukum Islam.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam, yaitu:Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqanghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Prinsip-Prinsip Perkawinan
Menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam Undang-Undang Perkawinan, yaitu:
1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. UndangUndang Perkawinan menampung di dalamnya segala unsur-unsurketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
2. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari perkembangan zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanityang menuntut adanya emansipasi, di samping perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran.
3. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagiayang kekal. Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami-istri saling bantu-membantu serta saling lengkap-melengkapi. Kedua, masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itu suami-istri harus saling membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang sejahtera spritual dan material.
4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masingmasing warga negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan crusialpoint yang hampir menenggelamkan undang-undang ini. Di samping itu perkawinan harus memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk pencatatan (akta nikah).
5. Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami,
akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya.
6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh
pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.
7. Kedudukan suami istri dalam kehidupan keluarga adalah
seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Rukun dan Syarat Perkawinan
1) Calon suami, syarat-syaratnya:
1. Beragama Islam.
2. Laki-laki.
3. Jelas orangnya.
4. Dapat memberikan persetujuan.
5. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2) Calon istri, syarat-syaratnya:
1. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani.
2. Perempuan.
3. Jelas orangnya.
4. Dapat dimintai persetujuannya.
5. Tidak terdapat halangan perkawinan.
3) Wali nikah, syarat-syaratnya:
1. Laki-laki.
2. Dewasa.
3. Mempunyai hak perwalian.
4. Tidak terdapat halangan perwaliannya.
4) Saksi Nikah.
1. Minimal dua orang laki-laki.
2. Hadir dalam ijab qabul.
3. Dapat mengerti maksud akad.
4. Islam.
5. Dewasa.
5) Ijab qabul, syarat-syaratnya:
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut.
4. Antara ijab dan qabul bersambungan.
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah.
7. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atauwakilnya wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi
Pendahuluan Perkawinan
 Peminangan, Syarat, dan Akibat Hukumnya
Bahwa peminangan adalah langkah awal untuk menuju sebuah perjodohan antara laki-laki dan perempuan. Para ulama sebenarnya menyatakan tidak wajib melakukan peminangan. Hal ini didasarkan pada argumentasi tidak ada-nya satu dalil yang eksplisit menunjuk akan kewajibannya. Kendati demikian, Dawud al-Zahiri mewajibkan adanya peminangan ini. Setidaknya tradisi yangberkembang di masyarakat menunjukkan betapa peminangan ini telah dilakukan. Bahkan jika ada sebuah perkawinan tanpa didahului dengan peminangan, dapat menimbulkan kesan yang kurang baik setidaknya disebut tidak mengindahkan adat yang berlaku.Di dalam fkih Islam peminangan inidisebut dengan khitbah. Kata ini dapat dilihat pada Hadis-hadis Rasul yang berbicara tentang peminangan tersebut. Perlu dijelaskan di samping peminangan, di masyarakat dikenal sebuah istilah yang disebut dengan tunangan. Biasanya tunangan ini adalah masa antara pinangan (lamaran) dengan perkawinan. Uniknya, kendatipun pinangan dikenal dalam Islam, namun tunangan tidak dikenal. Mungkin juga makna tunangan termasuklah di dalamnya pinangan.
Fikih Islam tampaknya telah mengatur syarat-syarat peminangan dan halangan-halangannya. Beranjak dari Hadis Rasul yang artinya:"Janganlah seseorang kamu meminang (wanita) yang dipinang saudaranya, hingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau telah mengizinkannya (Muttafaq 'alaih)."
Fikih Islam telah menetapkan bahwa wanita yang akan dipinang tersebut:
1. Wanita yang dipinang tidak istri orang.
2. Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan laki-laki lain.
3. Wanita yang dipinang tidak dalam masa idah raj'i
4. Wanita yang dalam masa idah wafat hanya dapat dipinang
dengan sindiran (kinayah)
5. Wanita dalam masa idah bainsughra dapat dipinang oleh
bekas suaminya.
6. Wanita dalam masa idah bain kubra boleh dipinang oleh
bekas suaminya setelah kawin dengan laki-laki lain, didukhul dan telah bercerai
Pencegahann dan Pembatalan Perkawinan
Pencegahan perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 13 yang bunyinya:Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaskud di dalam ayat di atas mengacu kepada dua hal : syarat administratif dan syarat materiil.Syarat administratif berhubungan dengan administrasi perkawinan sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian yang membahas tata cara perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan yang akan dibahas pada bagian lain.Perkawinan dapat dicegah bila salah seorang atau kedua calon pengantin masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk bagi suami yang telah mendapatkan dispensasi dari pengadilan untuk berpoligami) dan seorang bekas istri yang masih dalam keadaan berlaku waktu tunggu (idah) baginya, begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita dapat dicegah untuk melangsungkan perkawinan kecuali telah mendapat dispensasi dari pengadilan.
Pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkawinan atau hukum munakahat. Jika ini terjadi, maka pengadilan agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinanadalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami dan istri dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut.Sampai di sini suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana, adadua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Contoh pertama; misalnya, tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosudural lainnya. Adapun yang kedua contohnya adalah perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami dan istri.
Pencatatan Perkawinan: akta nikah dan Perjanjian Perkawinan
Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini, diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.Dengan demikian, salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Dikatakan pembaruan hukum Islam karena masalah tersebut tidak ditemukan di dalam kitab-kitab fkih ataupun fatwa-fatwa ulama.
Perjanjian Perkawinan dalam undang-undang perkawinan  diatur dalam Bab V dan hanya terdiri satu pasal saja, yaitu Pasal 29. Dijelaskan pada pasal tersebut:Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yangdisahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.