Aku dan suamiku adalah keluarga kecil yang baru menapaki anak tangga kehidupan berkeluarga selama tiga tahun. Aku berusia 21 tahun ketika menikah, dan suamiku berusia 28 tahun. Untuk ukuran budaya dan beberapa aspek di daerahku, usia suamiku dianggap sudah cukup matang untuk jenjang pernikahan.
Selama tiga tahun pertama ini, memang bisa dibilang kami masih tergopoh-gopoh soal ekonomi. Pekerjaan suami adalah staf pemerintah, yang mungkin gajinya tak seberapa. Kami rasa hanya cukup untuk hidup, tapi meski zaman sulit diimbangi, api syukur kami masih ada, meski kadang tak menyala setiap waktu.
Suamiku adalah guru andal soal sabar, dia selalu menganggap bahwa menjadi orang yang duduk di meja pemerintahan bukanlah hal yang tepat untuk mencari penghasilan melainkan pengabdian. Terhadap masyarakat tepatnya, tentunya pengabdian terhadap orang-orang terdekat, termasuk kerabat dan tetangga. Â Menjadi orang yang berada di lingkup pemerintahan nyatanya cukup bimbang, karena keluarga kita seperti menjadi sorotan orang sekampung, orang menjadi sangat sensitif dan jeli terhadap apa yang keluarga suamiku lakukan.
Ternyata dengan diperhatikannya kita oleh orang-orang di sekeliling, aku sebagai istri sering dibicarakan oleh tetangga. Dari mulai jumlah uang yang aku belanjakan di warung, caraku bersosialisasi dengan tetangga, dan semuanya menjadi bahan obrolan. Karena suamiku secara tidak langsung menjadi role model di masyarakat, mau tidak mau kita dipaksa dan didorong untuk menjadi contoh yang baik untuk masyarakat, tapi karena kesederhanaan kita orang-orang mungkin banyak membicarakan kita dari sisi yang lain.
Mulai dari cara kita menjalani hidup misalnya, bukan dari segi kekayaan dan keangkuhan yang kita tampilkan di tengah masyarakat. Ternyata, orang menyangka kita tidak pernah memiliki keluhan, karena menjalani hari-hari seperti datar saja. Aku dan suami tidak terlalu menggunakan sosial media untuk mempresentasikan kehidupan kita, bahkan jarang sekali kami berfoto bahkan mengunggahnya.
Kita sangat jarang, bahkan tidak pernah menulis keluhan tentang keluarga kita di halaman sosial media. Kita bahkan tak pernah menceritakan kalau kita sehari-hari melewati pertengkaran. Banyak adegan semacam itu, tapi kami tak pernah menceritakannya pada siapapun termasuk orang tua kami.
Uniknya, ada beberapa kerabat kami yang datang ke rumah atau menghubungi tiba-tiba dengan tujuan meminjam uang, atau bahkan berniat gadaikan barang kepada kami, nyatanya kami tak pernah punya uang simpanan lebih dari sejuta sebulan. Mereka menyebut kami punya banyak uang karena sanggup bepergian dan tak pernah terdengar mengeluh, mereka meyakini bahwa kontrol emosi kami yang stabil itu adalah buah dari kematangan finansial kami. Padahal untuk urusan bepergian, kami hanya mengagendakan keluarga kecil kami mengunjungi tempat baru yang tidak terlalu jauh dari rumah.
Kami mencari tempat yang murah, bahkan kalau bisa gratis sejadinya. Tempat wisata yang sederhana dengan tarif Rp5.000 atau tempat yang dikelola warga lokal memungut uang parkir saja. Kami memutuskan untuk melakukan hal itu untuk anak kami, suatu saat jika punya  uang yang lebih kami bercita-cita ingin pergi ke tempat yang lebih jauh sesuai dengan mimpi kita selama ini.
Suamiku adalah pekerja di pemerintahan, sedangkan aku hanya penulis lepas yang kalau dalam penggalan lirik lagu Hindia tugasku hanya bisa 'mencatat hidup dan harganya' mengunci waktu dan sejarah perjalanan, terutama kisah keluarga kami. Aku adalah istri yang yang pernah ikut membantu perekonomian keluarga dengan berjualan makanan kecil dan menjadi reseller beberapa online shop. Tapi, karena aku adalah istri yang memiliki anak berumur dua tahun yang masih harus dalam pengawasan penuh, jualanku masih pasang surut.
Di samping belum mendapat pekerjaan, aku juga tidak mengambil beberapa lowongan pekerjaan yang memungkinkan aku meninggalkan anak dalam waktu yang lama. Karena untuk hal menitipkan anak, menurutku masih riskan jika harus benar-benar dititipkan pada orang lain. Aku sendiri sudah tidak punya ibu, ia meninggal dunia saat aku berumur sebelas tahun, sedangkan ibu tiriku sekarang adalah karyawan sebuah tempat pengolahan makanan.
Mertuaku adalah pegawai negeri yang sehari-harinya mengajar Di Sekolah Dasar, jadi aku tidak bisa dengan leluasa melepas begitu saja anak ke kerabat lain. Berdasarkan keputusanku dengan suami, ia selalu berkata, "Kalau kamu nggak ikut kerja gakpapa, doakan saja yang banyak, yakin dan kencang." Akhirnya, aku membantu banyak dalam perekonomian keluarga kami dengan berdoa yang banyak tentunya.
Berjualan makanan itupun hanya membuka Pre-Order saja karena dalam beberapa waktu ternyata ku rasakan punya anak dua tahun menguras tenaga juga, ternyata pekerjaan di rumah menjadi tidak efektif kalau pengorganisasiannya masih urak-urakan. Aku yang masih belum bisa mendisiplinkan diri dan masih terdistraksi dengan susunan kegiatan yang sering berantakan, karena bersama anak dua tahun ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata menjadi ibu capeknya setiap hari, walau waktunya hanya dipakai bermain dengan anak saja, entah dari mana rasa itu.
Atas dasar itu, aku yang hanya ibu rumah tangga dan suamiku staf pemerintahan biasa, sebenarnya kami serba kekurangan dalam hal materi. Kami tak pernah mengeluhkan itu kepada orang lain, sampai sekarang aku tidak pernah bilang pada orang lain kalau aku tidak punya uang. Kalau aku benar-benar kesusahan, aku tak pernah bilang kalau kita sebenarnya hanya punya uang 100.000 untuk seminggu pada orang lain.
Karena aku tahu, itu akan menjatuhkan harga diri suamiku, aku sendiri tidak bisa ikut andil dalam proses pencarian rezeki, jadi pasti orang lain menilai suamiku terlebih dahulu. Ia akan dianggap tidak becus mencari uang jika aku membicarakan kekurangannya pada orang lain. Ditengah kerjasama yang kami bangun itu, atas pengelolaan sabar yang kami kuatkan, setiap hari kami berhasil menipu orang lain dengan kesederhanaan kami.
Kerabatku yang sering menanyakan apakah kami punya uang atau tidak, sampai sekarang masih menanyakan hal yang sama, sepertinya dia ingin melihat indikator seberapa kami dapat dihormati dan dihargai. Padahal jika dilihat, dia telah memiliki mobil, anak-anaknya sehat dan ceria, mereka berdua adalah pekerja yang karirnya sedang cemerlang, dan mungkin mereka sangat lebih dari cukup untuk hidup. Entah kenapa, mereka sering bertanya pada kami, "Apakah ada uang yang bisa kami pinjam barang sebentar? Minggu depan janji kami kembalikan," katanya. Â
Terus seperti itu setiap minggu, seperti terlihat kami banyak uang. Padahal kami morat-marit dan lebih rumit dari mereka, ujian ekonomi kami lebih berat daripada mereka, tapi kami tak pernah memperlihatkannya pada orang lain. Mereka tertipu atas perilaku kami selama ini, mereka tertipu atas kehidupan yang kami jalani sampai sekarang, mereka telah tertipu dengan kesederhanaan kami.
Ada uang atau tidak, kami tidak pernah menyengaja membeli pakaian, perhiasan atau apapun itu. Jadi ada atau tidak adanya uang kami tak pernah menjadi tiba-tiba membeli atau memamerkannya, bila hanya cukup untuk lauk makan saja, kami terbiasa untuk tidak jajan. Ya, kami berhasil menipu kerabat lain dengan gaya hidup yang biasa saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI