Mohon tunggu...
Nida Nafisah
Nida Nafisah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Kecil

Perjalanan hidup sering menjadi inspirasi saya saat menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku dan Suami, Berhasil Menipu Kerabat Kami

27 Januari 2025   06:24 Diperbarui: 27 Januari 2025   06:24 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Aku dan suamiku adalah keluarga kecil yang baru menapaki anak tangga kehidupan berkeluarga selama tiga tahun. Aku berusia 21 tahun ketika menikah, dan suamiku berusia 28 tahun. Untuk ukuran budaya dan beberapa aspek di daerahku, usia suamiku dianggap sudah cukup matang untuk jenjang pernikahan.

Selama tiga tahun pertama ini, memang bisa dibilang kami masih tergopoh-gopoh soal ekonomi. Pekerjaan suami adalah staf pemerintah, yang mungkin gajinya tak seberapa. Kami rasa hanya cukup untuk hidup, tapi meski zaman sulit diimbangi, api syukur kami masih ada, meski kadang tak menyala setiap waktu.

Suamiku adalah guru andal soal sabar, dia selalu menganggap bahwa menjadi orang yang duduk di meja pemerintahan bukanlah hal yang tepat untuk mencari penghasilan melainkan pengabdian. Terhadap masyarakat tepatnya, tentunya pengabdian terhadap orang-orang terdekat, termasuk kerabat dan tetangga.  Menjadi orang yang berada di lingkup pemerintahan nyatanya cukup bimbang, karena keluarga kita seperti menjadi sorotan orang sekampung, orang menjadi sangat sensitif dan jeli terhadap apa yang keluarga suamiku lakukan.

Ternyata dengan diperhatikannya kita oleh orang-orang di sekeliling, aku sebagai istri sering dibicarakan oleh tetangga. Dari mulai jumlah uang yang aku belanjakan di warung, caraku bersosialisasi dengan tetangga, dan semuanya menjadi bahan obrolan. Karena suamiku secara tidak langsung menjadi role model di masyarakat, mau tidak mau kita dipaksa dan didorong untuk menjadi contoh yang baik untuk masyarakat, tapi karena kesederhanaan kita orang-orang mungkin banyak membicarakan kita dari sisi yang lain.

Mulai dari cara kita menjalani hidup misalnya, bukan dari segi kekayaan dan keangkuhan yang kita tampilkan di tengah masyarakat. Ternyata, orang menyangka kita tidak pernah memiliki keluhan, karena menjalani hari-hari seperti datar saja. Aku dan suami tidak terlalu menggunakan sosial media untuk mempresentasikan kehidupan kita, bahkan jarang sekali kami berfoto bahkan mengunggahnya.

Kita sangat jarang, bahkan tidak pernah menulis keluhan tentang keluarga kita di halaman sosial media. Kita bahkan tak pernah menceritakan kalau kita sehari-hari melewati pertengkaran. Banyak adegan semacam itu, tapi kami tak pernah menceritakannya pada siapapun termasuk orang tua kami.

Uniknya, ada beberapa kerabat kami yang datang ke rumah atau menghubungi tiba-tiba dengan tujuan meminjam uang, atau bahkan berniat gadaikan barang kepada kami, nyatanya kami tak pernah punya uang simpanan lebih dari sejuta sebulan. Mereka menyebut kami punya banyak uang karena sanggup bepergian dan tak pernah terdengar mengeluh, mereka meyakini bahwa kontrol emosi kami yang stabil itu adalah buah dari kematangan finansial kami. Padahal untuk urusan bepergian, kami hanya mengagendakan keluarga kecil kami mengunjungi tempat baru yang tidak terlalu jauh dari rumah.

Kami mencari tempat yang murah, bahkan kalau bisa gratis sejadinya. Tempat wisata yang sederhana dengan tarif Rp5.000 atau tempat yang dikelola warga lokal memungut uang parkir saja. Kami memutuskan untuk melakukan hal itu untuk anak kami, suatu saat jika punya  uang yang lebih kami bercita-cita ingin pergi ke tempat yang lebih jauh sesuai dengan mimpi kita selama ini.

Suamiku adalah pekerja di pemerintahan, sedangkan aku hanya penulis lepas yang kalau dalam penggalan lirik lagu Hindia tugasku hanya bisa 'mencatat hidup dan harganya' mengunci waktu dan sejarah perjalanan, terutama kisah keluarga kami. Aku adalah istri yang yang pernah ikut membantu perekonomian keluarga dengan berjualan makanan kecil dan menjadi reseller beberapa online shop. Tapi, karena aku adalah istri yang memiliki anak berumur dua tahun yang masih harus dalam pengawasan penuh, jualanku masih pasang surut.

Di samping belum mendapat pekerjaan, aku juga tidak mengambil beberapa lowongan pekerjaan yang memungkinkan aku meninggalkan anak dalam waktu yang lama. Karena untuk hal menitipkan anak, menurutku masih riskan jika harus benar-benar dititipkan pada orang lain. Aku sendiri sudah tidak punya ibu, ia meninggal dunia saat aku berumur sebelas tahun, sedangkan ibu tiriku sekarang adalah karyawan sebuah tempat pengolahan makanan.

Mertuaku adalah pegawai negeri yang sehari-harinya mengajar Di Sekolah Dasar, jadi aku tidak bisa dengan leluasa melepas begitu saja anak ke kerabat lain. Berdasarkan keputusanku dengan suami, ia selalu berkata, "Kalau kamu nggak ikut kerja gakpapa, doakan saja yang banyak, yakin dan kencang." Akhirnya, aku membantu banyak dalam perekonomian keluarga kami dengan berdoa yang banyak tentunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun