Mohon tunggu...
Azizah Nida Ilyas
Azizah Nida Ilyas Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

wanna be a jurnalist, keep trying and fighting for my dreams

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desa di Seberang Sungai, Kisah Perbatasan

30 November 2014   02:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:29 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desa Di Seberang Sungai



Nun, seekor burung bersayap lebar terbang melintasi dataran pinggir sungai itu. Sayap besarnya terbentang, membuat teduh dataran dibawahnya. Daratan teduh di bawah sayapnya itu seketika menjadi hutan subur. Burung itu memiliki suara yang sangat nyaring. Seperti memanggil sesuatuh untuk datang mengikutinya. Konon, burung itu adalah burung pembawa berkah. Akhirnya, nenek moyang kami lah yang mengikuti burung itu hingga sampai lah ia di dataran yang sakarang bernama Dusun Peleng.

Di sana lah kelompok KKN kami menghabiskan 30 hari untuk berbaur besama warga dusun dan memberikan sedikit bantuan. Dusun Peleng masuk ke wilayah Desan Sinar Baru, Kecemanatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Tahun 2004, Kabupaten Bengkayang masih masuk ke wilayah kabupaten sambas. Lalu, dilakukan pemekaran pada tahun 2006 dengan 17 kecamatan. Termasuk di dalamnya adalah kecamatan Jagoi Babang. Sedangkan Desa Sinar Baru sendiri adalah wilayah pemekaran tahun 2009. Desa Sinar Baru terdiri dari dua desa yang jaraknya sangat jauh. Dusun pertama adalah Dusun Peleng dan yang kedua adalah Dusun Sentimok. Dusun peleng merupaka wilayah pemekaran dari Desa Semunying Jaya, sedangkan Dusun Sentimok adalah wilayah pemekaran dari Kabupaten Sambas.

Dua dusun itu jaraknya 4 jam perjalan dengan menggunakan motor air, dan sekitar 3 jam melalui perjalanan darat. Saya pribadi kurang paham mengapa dusun yang berbeda jarak yang cukup jauh itu ditetapkan menjadi satu desa. Sedangkan pengurusan administrasi desa dipusatkan di Dusun Peleng. Kantor desa pun ada di dusun itu. Jika warga Dusun Sentimok ingin mengurus administrasi kewargaan maka cukup sulit untuk menjangkau dusun pusat. Hendry, Kepala Desa Sinar Baru, sediri lah yang meminta kami untuk hanya menetap di Dusun Peleng. Salah satu alasannya adalah agar ia lebih mudah memonitor kegiatan kami karena rumah kepala desa pun juga di Dusun Peleng.

Masih lekat dalam ingatan saya ketika kami berangkat dari kantor kecamatan Jagoi Babang tanggal 12 Agustus lalu. Setelah semalam kami menginap di kantor kecamatan dengan berbagai keterbatsan, kami pun akhirnya diantar ke lokasi KKN oleh Pak Idus, Kepala Kecamatan Jagoi Babang. Kami melintasi jalur darat. Dengan lama peralanan hampir 2 setengah jam dari kantor kecamatan. Kami melintasi jalan negara, jalur perbatasan Indonesia – Malaysia selama satu jam, menurut saya kondisi jalan tersebut sudah jauh lebih baik. Sudah beraspal, cukup mulus. Walaupun masih ada beberapa lubang di tengah jalan. Tapi sesungguhnya jalan tersebut sudah jauh lebih baik dari pada jalan perkebunan sawit yang kami lewati.

Selama satu setengah jam kami menempuh jalan perkebunan sawit itu, Pak Idrus bilang, satu-satunya jalur darat yang ada hanya ini. “Dulu, sebelum ada perkebunan sawit malah tak ada jalur darat. Hanya ada jalur air,” lanjut Pak Idrus. Selama satu setengah jam perjalanan itu pula saya tak berhenti berdoa agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Jalan sangat berdebu, karena timbunan pasir tebal dan udara yang sangat kering hari itu. “Untung hari ini panas, kalau hujan saya tidak akan mengantar kalian naik mobil saya,” celetuk Pak Idrus. Kami pun menyahut “Loh, kok gitu sih Pak?”. Pak Idrus pun tertawa.

Ia mengatakan, di musim hujan jalanan ini berlumpur. Bahkan lumpurnya bisa setinggi dengkul orang dewasa. Jadi kendaraan tidak bisa lewat sama sekali. Ia pun bercerita tentang pengalamannya waktu mampir ke Dusun Peleng di musim hujan. Ia sampai harus menitipkan mobilnya dipinggir jalan ujung jalan karena tak mampu lagi melintas. Akhirnya pun ia harus berjalan kaki menuju dusun. Banyak pula orang yang terkadang harus menitipkan kendaraannya karena kondisi jalan tak memungkinkan untuk ditempuh.

Di tengah perjalanan, mobil yang dikendarai Pak Idrus tersangkut di timbunan batu pasir. Timbunan batu dan pasir itu tingginya hampir selutut. Untungnya, ada beberapa pekerja sawit yang juga tengah melintasi jalan tersebut. Mereka membawa skop dan membantu kami untuk menggali timbunan itu. Selama hampir lima belas menit kami berhenti di tengah jalan. Itulah kesan pertama yang saya dapatkan. Kesan tentang kondisi lokasi KKN kami tak akan jauh dari nyaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun