Mohon tunggu...
Nida Aulia
Nida Aulia Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger dan Cerpenis

Lulusan S1 Psikologi yang memiliki minat besar dalam menulis cerpen.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secangkir Teh Hangat

29 Juli 2024   10:13 Diperbarui: 29 Juli 2024   10:19 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari perlahan-lahan mulai terbenam, meninggalkan langit jingga yang menawan. Aku duduk di kursi goyang di teras rumah dengan secangkir teh hangat di tangan. Uap yang mengepul perlahan menghangatkan udara di sekitarnya, meresap ke dalam tubuhku, mengusir udara dingin yang menusuk kulit. Kegiatan ini sudah menemaniku dalam kesendirianku selama lima belas tahun terakhir di desa kecil ini.

Suara angin yang berbisik di antara pepohonan di halaman depan telah menemani hari-hariku yang sunyi. Kayu kursi yang ku duduki ini berderit setiap kali ia bergoyang, mengisi kekosongan yang menghantui rumahku.

Aku melihat seorang anak laki-laki yang kira-kira berusia sepuluh tahun perlahan menggiring bola sepak memasuki halaman rumahku. Dia mengoper bola sembarangan, tidak ada teman sebaya di sampingnya yang bisa menerima operan bola tersebut. Dia menggiring dan mengoper, terus begitu berkeliling di halaman rumahku. 

Mungkin, kelihatannya anak kecil tersebut tengah asyik bermain sepak bola. Namun, wajahnya tampak letih. Aku bisa melihat matanya yang besar berkaca-kaca, seolah-olah dia menahan air mata yang ingin tumpah.

Tiba-tiba, anak kecil itu menoleh ke arahku, menatapku sejenak. Kemudian, dia berjalan dengan tenang ke arahku sambil membawa bola sepak di kedua tangannya.

Dia berhenti tepat di dekat teras rumahku. Tangan kanan anak kecil itu terangkat, telapak tangan menghadap ke wajahnya. Tangan itu bergerak lembut menyentuh bibirnya. Kemudian, tangan itu terentang ke depan, jari-jari membentuk lengkungan seperti huruf C.  

Semua gerakan itu dia lakukan dengan diiringi oleh senyum lembut dan pandangan mata yang penuh keramahan. Seolah-olah tangan itu sedang menyapa, aku tersenyum membalasnya.

Dia kembali mengangkat tangan kanannya, mendekatkannya ke mulut, seolah-olah sedang menyeruput minuman. Gerakannya lembut, penuh sopan santun. Kemudian, tangannya bergerak membentuk persegi panjang kecil di depan dada, menggambarkan bentuk cangkir.

Dengan gerakan yang penuh arti, anak laki-laki itu menggabungkan kedua gerakan tersebut. 

Dengan senyuman, aku menyodorkan cangkir teh di tanganku yang belum sempat ku minum. Anak itu melihatku dan tersenyum lebar. Dia mendekat dan duduk di kursi tepat di sampingku, menerima cangkir teh yang ku tawarkan dengan kedua tangan.

Dia meminum teh tersebut perlahan. Wajahnya yang tadi tampak letih sekarang terlihat lebih rileks. Aku merasa bahagia bisa memberikan sedikit kenyamanan padanya. 

Dia mengangkat tangan kanannya ke depan dada, telapak tangan terbuka menghadap wajahnya. Dengan gerakan lembut namun pasti, jari-jari kedua tangannya membentuk huruf 'V' dan saling bersilangan di depan dada. 

Aku tersenyum ramah, meski kebingungan dengan gerakannya kali ini. Namun, aku merasakan kehangatan dan ketulusan dari gerakan anak tersebut.

"SIAPA NAMAMU?" tanyaku sambil berteriak, memecah kesunyian di antara kami.

"RAMA."

"RAMA, TEMANMU MANA?" 

Dia menggeleng kepalanya pelan. "MEREHA HIDAK MENGERHI AHU."

Aku menghela napas panjang. Rasanya berat melihatnya harus menghadapi kesepian diusia sekecil ini.

Aku meraih kedua tangannya. "SEKARANG, KAMU TIDAK SENDIRIAN LAGI."

Senyum kecil mulai terlihat di wajahnya, memberikan secercah harapan di hatiku.

Rama kembali meneguk teh hangat yang kini tersisa setengah cangkir. Setelahnya dia tersenyum lebar sambil meletakkan ujung jari telunjuk dan ibu jari di dekat mulut, lalu menggerakkannya ke depan sampai membentuk jempol ke atas.

Aku merasa gembira melihat reaksinya setelah meminum teh buatanku. Aku juga bahagia karena sekarang tidak sendirian lagi menikmati sore.

Seiring berjalannya waktu, Rama sering datang ke rumahku, setiap sore. Dia datang dengan bola sepak di tangannya. Dia akan bermain di halaman depan sementara aku menyiapkan teh hangat. Setelah lelah bermain, dia akan duduk di sampingku, menghirup teh yang telah ku buat.

Ada kalanya Rama membawa gambar-gambar yang dia buat di sekolah. Dengan penuh semangat, dia menunjukkan hasil karyanya, dan aku selalu memberikan pujian yang tulus. Senyum di wajahnya dan mata yang berbinar-binar membuat hatiku hangat. 

Saat hujan turun dan Rama tak bisa bermain sepak bola di luar, kami menghabiskan waktu di dalam rumah, membuat prakarya.

Setiap kegiatan yang kami lakukan saat sore, mengubah hari-hariku yang sepi menjadi penuh makna.

***

Nida Aulia

Tanggal Lahir: 23 Maret 2000

Pendidikan: Lulusan S1 Psikologi

Pekerjaan/Profesi: Blogger dan Cerpenis

Hobi: Membaca novel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun