Ragam bahasa merupakan berbagai bentuk bahasa, atau pemilihan kata yang berbeda menurut konteks pemakaiannya. Kesesuaian penggunaan ragam bahasa sangat penting karena ragam bahasa merupakan suatu langkah agar sebuah teks atau ucapan dapat dipahami dengan benar tujuan penyampaiannya. Ragam bahasa setiap konteks pun berbeda, sebagai contoh, ragam bahasa gaul, ragam bahasa baku, ragam bahasa sastra, dan ragam bahasa pers atau jurnalistik.
Penggunaan suatu ragam bahasa harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Misalkan, jika sedang melakukan sebuah presentasi, ragam bahasa yang cocok digunakan adalah menggunakan ragam bahasa baku seperti penggunaan 'aku' yang diganti dengan 'saya'. Hal kecil semacam ini sangat memengaruhi bagaimana orang menilai kemampuan berbicara kita serta membuat audiens merasa dihormati.
Penting sekali bagi kita untuk menguasai berbagai ragam bahasa. Jika kita menguasai banyak ragam bahasa, pada akhirnya kita akan merasa lebih mudah menempatkan diri dalam menghadapi masalah yang sedang ada di hadapan kita tanpa perlu berpikir panjang lagi. Dengan begitu, kemampuan public speaking kita juga akan semakin terlatih.
Artikel ini akan membahas satu ragam bahasa, yaitu ragam bahasa antikorupsi. Ragam bahasa antikorupsi berarti menggunakan ragam bahasa yang berkaitan dengan isu korupsi. Ragam bahasa ini akan sering kita temui di poster-poster, orasi, serta pidato yang membahas penolakan gerakan korupsi. Beberapa contoh sederhana penggunaan ragam antikorupsi adalah, penggunaan frasa 'tikus berdasi' yang memiliki arti tersirat pejabat yang melakukan hal tercela seperti korupsi atau penggelapan dana negara. Lalu ada penggunaan kalimat yang mengajak atau persuasif dalam kampanye, contohnya, "mari kita musnahkan korupsi di Indonesia!"
Mengapa penting bagi kita untuk mengerti ragam bahasa antikorupsi?
Indonesia bisa dibilang negara darurat korupsi. Korupsi sendiri sudah melekat pada sejarah negara Indonesia, bahkan bisa dibilang merupakan suatu 'budaya'. Korupsi menyebabkan kaum borjuis semakin kaya dan kaum proletar semakin menderita. Kita membayar, tetapi tidak mendapatkan feedback apa-apa. Sebagai warga sipil, kita tidak boleh hanya diam saja ketika diinjak-injak. Di zaman yang serba mudah ini, siapapun bisa melakukan aksi kampanye antikorupsi melalui berbagai media sosial yang dimilikinya. Dengan pemilihan ragam bahasa yang tepat, orang-orang pasti akan tergerak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H