Begitu Aku duduk dengan tegang, Habib Hasyim langsung berkata, "Kiai Hasyim Asy'ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlu Sunnah wal-Jama'ah, saya rela tapi tolong saya jangan ditulis".
Selanjutnya ketika sowan ke tempatnya Kiai Kholil Bangkalan beliau memperoleh wasiat untuk segera melaksanakan niatnya dan diridhoi seperti ridhonya Habib Hasyim.
Tapi Kiai Kholil juga berpesan "saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis".
Aku tertegun karena kedua ulama tersebut tidak mau ditulis semua. Namun, akhirnya Kiai Kholil membolehkan ditulis tetapi meminta sedikit saja.
Meskipun demikian, dalam perjalananku sangat berhati-hati dan kadang muncul keraguan. Kemudian pada tahun 1924, Kiai Kholil segera memanggil muridnya As'ad Syamsul Arifin Situbondo, santri senior berumur 27 tahun untuk menghadap.
"As'ad" kata Kiai Kholil, "Ya, Kiai" Jawab As'ad santri.
"As'ad, tongkat ini antarkan ke Tebuireng dan sampaikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy'ari" pesan Kiai Kholil sambil menyerahkan tongkat.
"Tetapi ada syaratnya. Kamu harus hafal Al-Quran ayat 17-23 surat Thoha" pesan Kiai Kholil lebih lanjut, "Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat itu".
Setibanya di Tebuireng, As'ad menyampaikan "Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai". Tongkat itu diterima dengan penuh perasaan haru.
Kiai Hasyim lalu bertanya kepada As'ad, "Apa tidak ada pesan dari Kiai Kholil ?" As'ad lalu membaca hafalanya itu yang artinya "Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa?
Dia (Musa) berkata, "Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain."