Mohon tunggu...
Nicolas
Nicolas Mohon Tunggu... -

Orang-orang persimpangan jalan | Tulisan saya lainnya tersedia di https://sekotelo.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Noken Pustaka, Para Penggiat Literasi di Tanah Papua

11 Juni 2017   03:31 Diperbarui: 3 Juli 2017   12:18 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: metrotrvnews.com

Penat selepas Ujian Akhir Semester menempatkan saya pada sebuah kondisi kegabutan yang haqiqi. Dengan sisa-sisa kemalasan yang ada, akhirnya saya mencoba produktif dengan tetap mencari kegiatan sembari menunggu rekan saya di kampus lain selesai ujian. Mulai dari membaca buku, main ukulele, main PES serta menghabiskan paketan malam. 

Malam tadi, saya mencoba mencari tontonan yang bener, disamping tontonan yang jauh lebih benar di hari-hari sebelumnya (abaikan). Niatnya mau nonton SUCI 7 yang show terakhir, tapi itu sudah berulang kali saya tonton, nanti ga lucu lagi, lagipula saya percaya bahwa sesuatu yang terulang untuk kedua kalinya rasanya tak akan sama. Jangan baper.

Oke serius, jadi malam tadi saya nonton Mata Najwa episode 'Menebar Virus Membaca'. Bercerita tentang sebahagiaan orang yang mengabdikan dirinya untuk pendidikan anak-anak pelosok, bukan sebagai tenaga pendidik, melainkan sebagai penggiat literasi, para relawan yang menyediakan bahan bacaan untuk anak-anak di daerah tertinggal. Mereka-mereka ini rela mengorbankan waktu, tenaga, uang, hanya untuk memuaskan dahaga baca anak-anak pelosok. Diantara 5 orang yang diundang malam itu, ada 2 orang yang menarik perhatian saya, mereka adalah Relawan Noken Pustaka. 

Dikutip dari zetizen.com, Noken Pustaka digagas oleh seorang guru bernama Misbah Surbakti, beliau mengabdi di salah satu SMPN di Manokwari, Papua Barat. Mulanya, beliau kecewa lantaran anak didiknya mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal ujian, hal ini disebabkan kurangnya membaca karena ketiadaan buku. Sejak itu ia bertekad untuk meningkatkan minat serta aktivitas membaca di sekolahnya, caranya lewat program Relawan Noken Pustaka ini.

Biar saya jelaskan dulu. Noken adalah salah satu alat angkut yang terbuat dari serat kayu, biasanya digunakan untuk menyimpan dan membawa hasil kebun ke pasar. Nah, noken ini digunakan sebagai tempat buku yang nantinya akan dibawa berkeliling oleh para relawan dari satu kampung ke kampung lain. Biasanya satu noken itu berisi 20-30 buku.

Yang unik bukan hanya cara mereka meminjam-minjamkan buku, namun ada kisah-kisah menarik lainnya dibalik perjuangan mereka -- para relawan. Let me tell you ;

Pak Misbah, penggagas gerakan ini adalah seorang guru, beliau punya beban moril yaitu membuat anak didiknya mengerti akan apa yang beliau ajarkan. Namun, dengan ketiadaan buku, ditambah minimnya akses perpustakaan, cita-cita ini akan sulit tercapai. Beliau sempat mencoba melaporkan kepada pemerintah mengenai permasalahan ini, namun sampai 10 tahun terakhir, jawaban tak kunjung datang. Akhirnya, beliau berinisiatif untuk bertindak.

Awalnya kegiatan ini dibuat dengan mengajak rekan-rekan guru di tempatnya mengajar untuk membuat ringkasan tentang cerita yang pernah mereka baca, kemudian membuatnya menjadi sebuah buku yang kemudian akan dibagikan kepada anak-anak di sekolahnya. Namun, hal ini justru menyebar bukan hanya untuk wilayah sekolah saja, tapi menyebar sampai ke seluruh Manokwari, virus itu bernama Agus Mandowen.

Agus, atau akrab disapa Kaka Agus, adalah seorang atlet angkat berat terkemuka dari Papua Barat. Mengaku sudah ikut gerakan ini sejak awal mula tercipta, Desember 2015. Alasannya begini;

"Waktu itu saya jaga disitu sebagai keamanan, dan saya lihat adik-adik bawa pulang buku ke rumah mereka masing-masing, kenapa mereka kecil bisa bawa pulang buku ke rumah untuk dibawakan kepada adik-adik di kompleks mereka, sedangkan saya yang badan besar, kuat, tidak bisa bawa buku ke kampung-kampung."

Entah kenapa saya sendiri terenyuh mendengar kata-katanya. Tak hanya itu, ketika awal-awal membawa noken, dia sempat dihina sebagai orang gila oleh orang-orang kampungnya karena dianggap pekerjaan yang tak menghasilkan.

Ditambah dia juga merupakan anak pertama di keluarganya. Sebagai anak yang paling tua, tentunya dia dapat banyak tantangan berat. Bukannya mencari uang untuk menghidupi kehidupan keluarganya, dia malah membuang waktu dan tenaga nyauntuk kegiatan yang dianggap keluarganya sebagai kegiatan yang sia-sia. Hinaan dan cacian datang kala itu silih berganti.

Tapi tekadnya jauh lebih besar dari hinaan itu. Dia bilang begini;

"Saya cuma jawab dalam hati, gak usah diladeni, saya rasa puas saat liat anak-anak, adik-adik saya yang kulit hitam, rambut kriting, bisa pegang buku, walaupun tidak bisa baca, hanya bisa lihat gambar, terus senyum. Itu sudah membuat saya rasa senang, dan itu lebih daripada uang yang nanti orang kasih sama saya."

Diucapkan dengan terbata-bata, dan mata berkaca-kaca.

Tantangan juga muncul dari Pak Misbah sendiri. Kakak laki-lakinya yang menopang biaya sekolah dan biaya semasa kuliah, mengaku bangga saat mendengar adiknya menjadi guru di Papua. Menjadi sebuah kebanggaan bila seorang desa punya saudara atau anak sebagai pegawai. Namun, melihat adiknya mengikuti gerakan ini, harus pakai celana pendek, keluar masuk kampung, pakai noken, dikira gembel, dikira tukang jual buku, malah justru membuat kakak yang awalnya bangga menjadi kecewa, bahkan dua kakak perempuan beliau sempat menangis melihat anaknya berperawakan seperti itu. Padahal beliau pernah menjadi kepala sekolah itu.

"Sedih keluarga saya mba, itu kan keluguan orang desa mba, bangga punya keluarga sebagai guru, jadi kepala sekolah, jadi panutan, tapi ketika melakukan hal-hal yang belum biasa walaupun itu mulia, bagi mereka itu merendahkan martabat keluarga, kalau melihat penampilan saya yang pakai celana pendek, pake kaos, kaya gembel"

Selain itu, tantangan eksternal juga ada, dibutuhkan kesabaran untuk bisa membawa masuk dan mensosialisasikan gerakan ini ke masyarakat. Karena gerakan baru jadi harus perlu kesabaran untuk membuat masyarakat paham. Pentingnya aktivitas membaca juga pelan-pelan mulai disebarkan ke masyarakat seiring dengan sosialisasi gerakan ini. Sempat ada kelompok masyarakat yang menolak kedatangan mereka karena dianggap orang baru, atau dianggap sekelompok pedagang.

Berkat kesabaran, tekad kuat, dan kerja keras mereka. Gerakan ini berkembang pesat, banyak yang mendaftarkan diri sebagai relawan, dikenal dengan istilah Para-Para Noken, juga dibangun Rumah Baca Noken, Posko Noken, Motor Noken, Pondok Noken, Perahu Noken, hebatnya lagi gerakan ini rencananya akan diteruskan sampai ke seluruh penjuru Papua. Tentunya dengan akses dan fasilitas yang senantiasa diupayakan guna memudahkan para penggiat literasi ini dalam usaha mencerdaskan tanah papua.

Sumber gambar: mediapapua.com
Sumber gambar: mediapapua.com
Noken Pustaka membuka mata saya bahwa masih banyak orang-orang --bahkan di pelosok nusantara-- yang peduli akan nasib pendidikan adik-adiknya. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga dan uang, naik turun lembah, hanya untuk memuaskan dahaga baca adik-adik mereka. Saya sadar, saya belum berguna buat siapa-siapa. Selama ini hanya diri saya sendiri yang selalu saya pikirkan, saya masih terlalu buta untuk membuka mata akan apa yang ada di sekitar saya.

Semoga dengan adanya kisah ini, bisa lebih bisa memotivasi kita untuk bisa terus bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita. Tidak harus seperti Kaka Agus yang harus naik turun lembah menggendong Noken, lakukan saja yang sekiranya kita bisa lakukan, bantu yang sekiranya kita bisa bantu.

Kalau gak mampu mengajak orang-orang untuk giat membaca, setidaknya mampukan dirimu dulu.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip kata-kata dari Mba Najwa :

Jika melek aksara telah menjadi hal biasa, minat baca adalah hal yang istimewa. Sekadar mengeja telah menjadi kebiasaan, namun gemar membaca adalah keistimewaan. Meningkatkan minat baca memang tak gampang, berbagai kendala banyak menghadang.

Terpujilah mereka yang gigih sebarkan bahan bacaan, kepada mereka yang haus ilmu pengetahuan. Merekalah yang menyodorkan jendela dunia, agar anak-anak bangsa dapat berpikir seluas cakrawala. Agar kita menjadi negara yang maju, menjadi bangsa yang melahirkan para penemu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun