Ditambah dia juga merupakan anak pertama di keluarganya. Sebagai anak yang paling tua, tentunya dia dapat banyak tantangan berat. Bukannya mencari uang untuk menghidupi kehidupan keluarganya, dia malah membuang waktu dan tenaga nyauntuk kegiatan yang dianggap keluarganya sebagai kegiatan yang sia-sia. Hinaan dan cacian datang kala itu silih berganti.
Tapi tekadnya jauh lebih besar dari hinaan itu. Dia bilang begini;
"Saya cuma jawab dalam hati, gak usah diladeni, saya rasa puas saat liat anak-anak, adik-adik saya yang kulit hitam, rambut kriting, bisa pegang buku, walaupun tidak bisa baca, hanya bisa lihat gambar, terus senyum. Itu sudah membuat saya rasa senang, dan itu lebih daripada uang yang nanti orang kasih sama saya."
Diucapkan dengan terbata-bata, dan mata berkaca-kaca.
Tantangan juga muncul dari Pak Misbah sendiri. Kakak laki-lakinya yang menopang biaya sekolah dan biaya semasa kuliah, mengaku bangga saat mendengar adiknya menjadi guru di Papua. Menjadi sebuah kebanggaan bila seorang desa punya saudara atau anak sebagai pegawai. Namun, melihat adiknya mengikuti gerakan ini, harus pakai celana pendek, keluar masuk kampung, pakai noken, dikira gembel, dikira tukang jual buku, malah justru membuat kakak yang awalnya bangga menjadi kecewa, bahkan dua kakak perempuan beliau sempat menangis melihat anaknya berperawakan seperti itu. Padahal beliau pernah menjadi kepala sekolah itu.
"Sedih keluarga saya mba, itu kan keluguan orang desa mba, bangga punya keluarga sebagai guru, jadi kepala sekolah, jadi panutan, tapi ketika melakukan hal-hal yang belum biasa walaupun itu mulia, bagi mereka itu merendahkan martabat keluarga, kalau melihat penampilan saya yang pakai celana pendek, pake kaos, kaya gembel"
Selain itu, tantangan eksternal juga ada, dibutuhkan kesabaran untuk bisa membawa masuk dan mensosialisasikan gerakan ini ke masyarakat. Karena gerakan baru jadi harus perlu kesabaran untuk membuat masyarakat paham. Pentingnya aktivitas membaca juga pelan-pelan mulai disebarkan ke masyarakat seiring dengan sosialisasi gerakan ini. Sempat ada kelompok masyarakat yang menolak kedatangan mereka karena dianggap orang baru, atau dianggap sekelompok pedagang.
Berkat kesabaran, tekad kuat, dan kerja keras mereka. Gerakan ini berkembang pesat, banyak yang mendaftarkan diri sebagai relawan, dikenal dengan istilah Para-Para Noken, juga dibangun Rumah Baca Noken, Posko Noken, Motor Noken, Pondok Noken, Perahu Noken, hebatnya lagi gerakan ini rencananya akan diteruskan sampai ke seluruh penjuru Papua. Tentunya dengan akses dan fasilitas yang senantiasa diupayakan guna memudahkan para penggiat literasi ini dalam usaha mencerdaskan tanah papua.
Semoga dengan adanya kisah ini, bisa lebih bisa memotivasi kita untuk bisa terus bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita. Tidak harus seperti Kaka Agus yang harus naik turun lembah menggendong Noken, lakukan saja yang sekiranya kita bisa lakukan, bantu yang sekiranya kita bisa bantu.
Kalau gak mampu mengajak orang-orang untuk giat membaca, setidaknya mampukan dirimu dulu.