Hal ini saya dalami juga dari refleksi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang mana dalam terbitan mereka pada Kwitangologi-Zine-Vol 11, mereka tegas mengungkapkan bahwa kita (masyarakat) tidak pernah melihat pemerintah memperhatikan hak asasi manusia dalam setiap upaya pembangunan yang dilakukan. Upaya perampasan lahan sejak periode Soeharto hingga Joko Widodo masih kerap kali ditemui. Penggusuran tanah adat, sengketa lahan, upaya kekerasan, kriminalisasi masih kerap menghantui masyarakat yang berjuang mempertahankan lahannya. Atas nama pembangunan semua hal menjadi halal; atas nama pembangunan masyarakat kerap kali ditinggalkan; dan atas nama pembangunan semua hal menjadi berantakan. Pemerintah yang selalu berupaya untuk "develop something" tidak pernah berupaya untuk membarenginya dengan pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia. Jelas ini sangat memprihatinkan; bagaimana tidak, Indonesia merupakan negara hukum, yang tentunya mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tetapi dalam pelaksanaannya? Kosong. Utopia pembangunan yang menjadi cita-cita masyarakat bahkan pemerintah kerap juga terhalang dengan sistem politik yang tidak inklusif dan korup.
Tuas Masa Depan Kemanusiaan
Masa depan kemanusiaan menjadi fokus dari segala tantangan-tantangan realitas yang ada. Sebagaimana isu kemanusiaan ini dihantarkan pada isu seperti krisis iklim, krisis ekologi dan evolusi digital yang bergerak cepat, tingkah laku dari segala sektor terkhusus pemerintah perlu diperhatikan dalam setiap pergerakan dan kebijakannya.
Tuas tarik-menarik untuk masa depan kemanusiaan tidak akan lepas dari sisi teknologi. Walaupun secara berkelanjutan sebenarnya sisi kemanusiaan ini hendak digali pada aspek perekonomian dan usaha mencapai perekonomian tersebut, teknologi nyatanya juga hendak menutup galian dari liang kubur kemanusiaan..
Contohnya saja pada perkembangan teknologi robot pintar ataupun kecerdasan buatan. Secara sekilas, proyek kecerdasan buatan itu memang tampak merupakan "ancaman" bagi masa depan manusia. Hal ini pun seolah juga menjadi boomerang bagi negara yang masih berkutat pada masalah "memanusiakan manusia". Seperti di Indonesia, tuas ini hendak ditarik pada aspek Pendidikan, menghilangkan entitas kesadaran Pendidikan yang merata pada setiap daerah baik itu daerah terkecil sekalipun. Â
Harapan-harapan pada masa depan kemanusiaan pun seolah pudar pada aspek ini. Krisis moral, dampak media sosial dan perkembangan teknologi lainnya. Berlanjut ke ekonomi, PLTU dan Perampasan Hak Ulayat dari tanah adat merupakan PR untuk masa depan kemanusiaan. Jika saya lampirkan data-data dari kejahatan isu tersebut tampaknya hanya menguraikan seberapa kompleks permasalahan di Indonesia. Tampaknya kita juga tau betapa banyak organisasi yang bergerak pada pengadvokasian masalah tersebut. Solusi-solusi untuk menutupi permasalahan tersebut mulai berkeluaran, yang terbesar adalah konsep green economy ditawarkan untuk merumuskan ulang tata kelola pembangunan. Konsep ini dipadukan dengan gerakan politik yang berpihak pada alam, manusia, lingkungan dan optimalisasi sumber daya local. Bahwa karakter penting ekomoni politik berkelajutan adalah; berangkat dari alam, dilakukan oleh komunitas local dengan memanfaatkan sumber daya komunitas lokal dan menggerakan ekonomi local maupun nasional.
Isu PLTU di berbagai daerah layaknya lemparan batu neraka dan kerakusan yang menggerus sektor-sektor hidup dan alam. Banyak dalih yang mencoba menutupi permasalahan tersebut, entah itu Co-Firing Biomass yang mana dianggap menjadi salah satu transisi energi dengan mengkombinasikan dua jenis bahan bakar secara bersamaan. Dalam hal ini CO-Firing biomassa artinya mengkombinasikan dua jenis bahan bakar berupa batubara dengan pellet yang terbuat dari limbah atau sampah
Padahal bahan Baku Biomassa dari pellet kayu, dan berbagai tanaman lainnya mengartikan ada perlunya pembukaan lahan energi untuk memproduksi tanaman sebagai bahan baku biomassa, hal ini tak jauh dari ancang-ancang deforestasi hutan.
Belum lagi krisis pengakuan hak ulayat pada masyarakat adat, dimana tanah dan hutan masyarakat adat tidak lagi dapat dimanfaatkan sebagaimana semestinya. Pemerintah dengan tindakannya menutupi segala hak mereka untuk dimanfaatkan sesuai kebutuhan mereka. Â Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total luasan yang menanti untuk ditetapkan, dan sudah ada dalam Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat fase ke-IV, mencapai 1.152.600 hektar (Bambang Supriyanto, Hutan Adat, 2022).
Jumlah realisasi ini dinilai Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) masih kecil sekali, dibanding peta partisipatif wilayah adat yang sudah dihasilkan hingga Agustus 2022, yakni 1.119 unit dengan luas wilayah adat 20,7 juta hektar. Peta wilayah adat ini tersebar di 29 provinsi dan 142 kabupaten/kota.
Dari data tersebut, terdapat 189 wilayah adat dengan luas mencapai 3,1 juta hektar telah memperoleh pengakuan dalam bentuk peraturan daerah (perda) dan surat keputusan kepala daerah provinsi atau kabupaten. Sedangkan yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat masih sangat besar, yaitu sekitar 17,7 juta hektar. Dengan demikian baru 15 persen wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah (BRWA, 2022). Tampaknya tidak perlu penjelasan lebih lanjut bagaimana sebenarnya nilai kemanusiaan itu di mata mereka (pemerintah, elit, pengusaha rakus). Belum lagi jika kita tarik pada kekerasan, penghilangan dan kriminalisasi aktivis. Sekompleks itu!