Rombongan  menyerahkan bahan kebutuhan pokok kepada keluarga yang kami tinggali, pasangan suami istri tempat saya menginap dengan cekatan memasak untuk kami menggunakan kayu bakar. Malam itu kami makan dengan mie instan, kornet dan ikan asin sebagai lauk memakai piring yang kami bawa masing-masing. Â
Gelas terbuat dari bambu sebagai alat  untuk minum, kami mengajak tuan rumah  dan pemandu untuk bersama-sama makan-makanan ala anak kos-an di kota,semoga tidak merusak kebiasaan makan masyarakat setempat. Berusaha menghabiskan malam dengan mengobrol dengan penduduk, salah seorang bercerita bahwa ia sering ke Jakarta dengan berjalan kaki. Penduduk Baduy dalam masih memegang teguh kepercayaan mereka yang dikenal dengan Sunda wiwitan dan larangan menggunakan  alat elektronik, menaiki, kendaraan dan menyeberangi lautan.
Keesokan harinya kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan, hari ini kami melalui rute berbeda dibanding kedatangan.  Meninggalkan desa ini cukup berat rasanya karena sebuah pengalaman berharga dapat tinggal  semalam di Cibeo seperti kembali ke masa lalu. Perjalanan pulang harus menyeberangi Sungai yang cukup lebar dan menandakan perbatasan Baduy Luar dan Dalam.
 Bagi kami ini tandanya sudah boleh melakukan pengambilan gambar, Mendekati desa Cigajebo, terdapat deretan lumbung padi yang unik, dilanjutkan dengan melewati jembatan bambu yang panjang sampai lah kami di desa. Beristirahat sebentar, tanpa membuang kesempatan kami mengabadikan aktivitas masyarakat menenun dengan alat sederhana.Â
Memotret laki-laki Baduy lebih mudah dibandingkan, perempuan yang cenderung untuk menghindar saat kamera digerakkan padanya. Gajebo desa Baduy Luar tentu aturannya lebih longgar dibandingkan Cibeo dimana terdapat rumah yang menjual dagangan cukup lengkap, dan beberapa cenderamata di sebuah waserba ala Baduy.Â
Mendaki dan menuruni bukit memang melelahkan sebagian dari kami mulai tertinggal dibelakang, tiga setengah jam berlalu kami sampai di Ciboleger. Tanpa membersihkan diri rombongan langsung makan di warung yang sama saat pertama kami datang.Bergantian kami menggunakan kamar mandi umum untuk menyegarkan diri, Bergegas karena berusaha untuk mengejar jadwal kereta dari Stasiun Rangkas Bitung.Â
Berdesakan di elf adalah  adalah urutan selanjutnya. Sesampai di Stasiun kereta kami dipaksa menunggu jadwal kereta yang seperti biasa tidak pasti, beruntung ada penjual durian tanpa pikir panjang kami menawar dan kemudian melahap durian bersama. Rombongan memutuskan untuk ke terminal bis dari pada menanti dalam ketidakpastian. Akhirnya kami menuju Jakarta dengan bus AC, di tengah perjalanan kendaraan kami mengalami kerusakan, beruntung berhenti tepat di samping penjual bakso keliling. Matahari telah lama tenggelam ketika kami tiba di Jakarta, perjalanan Sabtu-Minggu berakhir dengan kepuasan di hati.
Baduy terletak tidak jauh dari Jakarta, tetapi masyarakatnya masih mampu menahan laju modernisasi dengan menjalankan tradisi secara ketat. Keunikan suku Baduy menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi alternatif bagi wisata budaya. Perjalanan ke masyarakat dengan ciri khas khusus sangatlah menggoda tetapi tentunya kita harus turut menjaganya dan melestarikan apa yang sudah menjadi adat istiadat disana. Membandingkan kondisi di Suku Baduy dengan sistem pengetahuan, nilai agama, kemasyarakatan dan berbagai hal yang kita pahami kini tentu tidak pada tempatnya. Mari kita saling jaga dan bantu sesama manusia Indonesia, merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H