Mohon tunggu...
Nico Erdi Purwanto
Nico Erdi Purwanto Mohon Tunggu... Penjelajah -

Ecclesia et Patria - Ora et Labora ||| Ikuti saya di Instagram melalui akun @nicopurwanto

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bersyukur dalam Bubur

27 Maret 2019   14:31 Diperbarui: 27 Maret 2019   14:48 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bubur sumsum, bisa juga disebut jenang oleh kebanyakan orang, adalah makanan yang berasal dari tepung beras. Makanan berwarna putih dengan tekstur halus ini diberi air gula merah atau gula jawa sebagai pelengkapnya. Tapi, jangan mencari sumsum meski namanya adalah bubur sumsum. Tidak ada sumsum, karena sumsum adalah penyebutannya karena tampilan makanan ini sekilas mirip dengan sumsum.

Makanan ini bukan sekadar makanan untuk dimakan secara biasa. Dalam tradisi Jawa, bubur sumsum menjadi semacam ritual adat. Umumnya, makanan ini selalu disajikan setelah selesainya acara, sebagai sebuah ungkapan syukur, atau selamatan penyebutannya. Biasanya disiapkan setelah selesainya acara, seperti seusai acara pernikahan, selamatan ibu yang baru melahirkan, juga dalam pembubaran suatu kepanitiaan.

Bukan hanya kopi yang punya filosofi. Bubur pun punya filosofi. Seperti yang dituliskan dalam alinea sebelumnya, bubur sumsum adalah sebuah wujud dari rasa bersyukur. Lebih dari itu, bubur sumsum memiliki berbagai filosofi atau makna. Bubur sumsum adalah simbol kesederhanaan, juga pemersatu, dalam hal ini membuang sekat-sekat pemisah kasta.

Dalam ritual adat, sebagai acara selamatan bubur sumsum dihadirkan untuk dikonsumsi semua orang yang ikut berbahagia dan bersyukur, tanpa terkecuali dan tidak membatasi. Orang kaya dan orang miskin, yang berjabatan dan tidak berjabatan, berjabatan rendah atau tinggi, semua tetap sama, tetap mengonsumsi bubur sumsum.

Sebagai simbol kesederhanaan, bubur sumsum mengajarkan nilai bahwa berbahagia dan bersyukur tidaklah perlu mewah dan mahal. Lihatlah bubur sumsum ini. Bisa dibilang ini adalah makanan yang sangat sederhana dan mungkin terlihat seperti untuk golongan kasta rendah. Dari bahan dasarnya saja, hanya dari beras, yang merupakan hasil bumi dari tanah kita sendiri. Kalau menyinggung soal ini, beras yang berasal dari padi, terasa sangat ndeso. Yang langsung terbayangkan adalah hamparan tanaman padi di sawah bukan?

Semakin terlihat sederhana, dengan tampilannya yang putih polos. Meski dengan adanya tambahan air gula jawa, seperti tidak menaikkan derajatnya agar tidak sederhana dan ndeso. Bahkan, daya tarik dan tampilannya masih kalah dari sajian mi instan. Terkadang ada juga daun pandan yang menjadi hiasan. Tapi, itu hanya untuk hiasan, bukan untuk dimakan.

Tetapi, bukankah itu wujud dari mensyukuri kekayaan dan hasil bumi kita sendiri. Tidak ada bahan impor dari bahan-bahan yang diolah menjadi bubur tersebut. Beras, gula merah, atau bahkan pandan sebagai hiasannya, semuanya hasil alam. Lupakan dulu kalau negara ini juga mengandalkan impor beras dari negara tetangga. Lebih baik ingat bahwa kita juga punya hasil bumi sendiri, dari tanah yang kita diami sekarang.

Oh iya, untuk tempat penyajiannya sendiri juga bisa menggunakan daun pisang sebagai pengganti mangkuknya, begitu juga sendoknya. Itu tradisi yang masih digunakan hingga saat ini. Itu pun kalau dimaknai juga ada nilai baiknya. Selain kesederhanaan dan mensyukuri anugerah alam, bisa untuk mengurangi penggunaan plastik. Coba kalau menggunakan mangkuk plastik dan juga sendok plastik, bisa jadi setelah makan langsung dibuang begitu saja. Masih mending kalau dibuang ke tempat sampah, biasanya kan dibuang sembarangan. Betul? Kalau iya, berarti sudah mengurangi nilai-nilai kebaikan dari filosofi bubur sumsum itu sendiri.

Karena itu, marilah kita memaknai berbagai makna dan nilai-nilai yang diajarkan bubur sumsum kepada kita. Kebahagiaan dalam kesederhanaan, selalu mengucap syukur dalam setiap peristiwa, selalu menjaga persatuan, tidak membedakan golongan, hingga menjaga kelestarian alam. Bubur sumsum, atau yang juga disebut bubur lemu di daerah Solo, telah mengajarkan kepada kita berbagai kebaikan tersebut.

Tetaplah bersyukur dalam bubur! Semoga usai pemilu dan pilpres nanti, presiden yang terpilih mengadakan jamuan makan bubur sumsum, ya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun