Mohon tunggu...
Nico Erdi Purwanto
Nico Erdi Purwanto Mohon Tunggu... Penjelajah -

Ecclesia et Patria - Ora et Labora ||| Ikuti saya di Instagram melalui akun @nicopurwanto

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Dongeng Leicester (Mungkin) Tidak Akan Terjadi Lagi

3 Mei 2016   15:03 Diperbarui: 3 Mei 2016   15:08 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bukan Arsenal, Chelsea, ataupun Manchester City, atau bahkan para tim unggulan –yang tak diunggulkan untuk menjuarai Premier League musim ini– lainnya, yaitu Manchester United atau Liverpool. Justru tim yang musim lalu hampir terdegradasilah yang kini mengangkangi para raksasa Liga Inggris dan menjuarainya. Ya, merekalah Leicster City, tim yang sama sekali tak diperhitungkan menjuarai liga sekeras dan (kata orang-orang) sehebat Liga Primer Inggris. Bahkan tim yang berjuluk Si Rubah itu pun sebelum dimulainya kompetisi bahkan tak diperhitungkan masuk zona Eropa sekalipun.

Musim lalu, The Foxes selalu berkutat dengan jerat zona degradasi. Namun, menjelang musim berakhir, Leicester berhasil memenagkan beberapa petandingan hingga akhirnya bisa keluar dari zona degradasi dan pada akhirnya finis di peringkat 14 klasemen akhir Liga Inggris, berjarak tujuh poin dengan Hull City yang merupakan batas terakhir degradasi.

Di musim Promosinya tersebut, kita boleh menyimpulkan bahwa itu adalah kesuksesan pertama Leicester, sebab Nigel Perason kala itu berhasil menyelamatkan timnya dari jurang degradasi ke Divisi Championship.

Untuk musim sekarang, Anda pun juga menyebutnya sebagai kesuksesan Leicester, kesuksesan yang kedua di bawah pelatih anyar mereka, Claudio Ranieri. Ya, kesuksean yang sangat luar biasa tentunya mengingat Leicester hanyalah tim semenjana dengan pemain yang tidak terkenal dan berharga mahal satu pun, dan (sekali lagi saya menyebut bahwa) tim yang bermarkas di Stadion King Power tersebut musim lalu adalah tim yang berurusan dengan jeratan degradasi yang berusaha keras mempertahankan kesempatan bermain di kompetisi teratas Liga Inggris tersebut.

Di awal musim pun, ketika penunjukkan Claudio Ranieri sebagai pelatih, target yang dibebankan klub kepada The Tinkerman pun hanyalah bertahan di kompetisi Premier League, atau setidaknya bisa menembus zona Eropa. Zona Eropa pun yang dimaksud adalah zona Liga Europa, bukannya Liga Champions, kompetisi antarklub paling elite dan tertinggi di Eropa.

Namun, hanya dengan bermodalkan pemain (maaf) ‘murahan’ plus pelatih yang ‘hanya’ mampu meraih prestasi runner-up sepanjang karier kepelatihannya, nyatanya Leicester mampu meraih kemenangan demi kemenangan di Premier League. Mereka tidak pernah kalah sampai pada akhirnya pada 26 September 2015, pasukan Si Tuan Hampir dikalahkan dengan skor telak 2-5 di kandang sendiri oleh Arsenal. Kala itu hattrick dari Alexis Sanchez yang meluluhlantakkan si Rubah, langsung disambut berbagai respon oleh publik: sepertinya Leicester hanya akan jadi penggembira untuk sementara dan kemudian perlahan akan layu seperti para tim kejutan sebelumnya seperti Newcastle, Swansea, Everton, West Ham, hingga Southampton.

Selanjutnya, Leicester tetap meraih hasil yang positif. Kemenangan 3 gol tanpa balas atas Newcastle di bulan November, mengantarkan Si Rubah ke posisi paling atas di klasemen.

Performa impresif mereka ternyata juga diiringi dengan jebloknya performa Chelsea, inkonsistensi Manchester City, dan belum kembalinya Manchester United dan Liverpool sebagai tim besar meski tim-tim tesebut telah menggelontorkan uang yang sangat besar untuk membeli banyak pemain. Praktis, Leicester hanya bersaing dengan Arsenal dalam perburuan gelar juara liga. Namun, akibat Arsenal yang kembali diserang penyakit lamanya: para pemain dihantam badai cedera dan inkonsisten, Leicester-lah yang semakin nyaman di pucuk klasemen. Di saat itu pula, muncullah Tottenham Hotspur dengan pasukan mudanya dengan Harry Kane dan Delle Alli di baris depan, berhasil menembus papan atas tepat di bawah leicester City, menyemarakkan persaingan menuju singgasana juara liga terbaik dunia.

Hingga setelah musim mendekati akhir, kedua tim inilah yang dijadikan kandidat terkuat peraih gelar juara Liga Primer Inggris. Sementara, para tim besar lainnya sedang bermasalah dengan konsistensi diri mereka sendiri. Arsenal yang penampilannya menurun semenjak pergantian tahun hingga para fans beramai-ramai merentangkan spanduk yang berisi hujatan ‘halus’ kepada Arsene Wenger agar segera keluar dari Emirates.

Manchester City setelah adanya pengumuman bahwa musim depan Pep Guardiola menangani tim biru langit tersebut, penampilannya juga cenderung menurun, meski di Liga Champions, The Citizen bisa melaju jauh hingga semifinal.

Chelsea harus menerima kenyataan bahwa gelar juara Liga Inggris musim lalu hanyalah angin lalu saja. Laga demi laga mereka lalui dengan banyak kekalahan. Bahkan, manajer Jose Mourinho, yang selama ini dianggap berjodoh dengan klub tersebut, dipecat juga oleh Roman Abramovich. Tragis memang bagi pelatih ‘terbaik dunia’ dan ‘terspesial’ di dunia tersebut harus dipecat di tengah jalan.

Liverpool dan Manchester United tak berbeda jauh dengan para rivalnya tersebut, meski The Reds dan The Red Devil telah menghabiskan dana yang tidak bisa disebut lumayan untuk membeli banyak pemain bintang, namun hasilnya justru tidak setimpal.

Oleh karena tim yang rival yang ketar-ketir itulah, Leicester bisa melaju jauh. Namun, bukan berarti saya tidak menganggap bahwa perjuangan pasukan Ranieri tersebut adalah sia-sia. Bukankah aneh jika saya menyebut Riyad Mahrez dan Jamie Vardy adalah para pemain abal-abal? Begitu pun dengan Shinji Okazaki, N’Golo Kante, atau Danny Drinkwater. Musim ini, merekalah para aktor utama dari kesuksesan Leicester City. Namun, kredit lebih juga saya berikan pada sang pelatih mereka Si Tuan Hampir, Claudio Ranieri. Pelatih yang sudah 29 tahun berkiprah di dunia kepelatihan dan selalu menangani tim-tim besar. Namun, sayang sekali, Pelatih asal Italia itu tidak pernah menjuarai satu liga pun bersama semua tim yang dilatihnya itu.

Hingga pada Minggu kemarin, Leicester akan benar-benar merayakan gelar juara sekaligus mengakhiri kutukan dari Ranieri. Leicester hanya butuh 3 poin saja untuk mewujudkan hal itu. Namun, skor 1-1 di Old Trafford menunda pesta juara tersebut.

Sementara itu, tim peringkat dua, Spurs, masih bertanding pada Selasa dini hari melawan Chelsea. Hingga kemudian. Kubu Leicester yang menonton dari layar kaca dibuat senam jantung oleh dua gol tanpa balas Spurs di babak pertama. Semakin terjal jalannya, mungkin begitu pikir para pemain Leicester kala itu.

Namun, di babak kedua, justru The Blues-lah yang gantian menggila. Gol-gol dari Garry Cahill dan Eden Hazard berhasil membuat kedudukan menjadi 2-2- hingga pertandingan berakhir. Peluit panjang dibunyikan, para pemain, pelatif, staf, dan pendukung The Foxes bersorak, meluapkan kegembiraan mereka. Meski tidak di lapangan, namun setidaknya merek bahagia di depan layar kaca.

Setelah laga tersebut, manajer Leicseter menelepon Guus Hiddink, caretaker Chelsea. Dia mengucapkan terima kasihnya kepada pelatih asal Belanda itu. Anda tentu tahu bagaimana perasaannya saat itu.

Mengejutkan memang, tim yang selama ini tidak diperhitungkan, justru dengan mudahnya meraih gelar juara liga setelah musim lalu baru promosi dan hampir terdegradasi kembali.

Banyak yang mengatakan, bahwa kemenangan-kemenangan leicester City musim ini berbau mistis, sebab sebelum bertanding mereka selalu didoakan oleh para biksu dari Thailand, negara asal sang pemilik klub. Ada biksu yang selalu bermeditasi ketika tim berkostum warna biru tersebut sedang bertanding. Selain itu, setisp Jamie Vardy dkk. menang, akan selalu ditraktir makan makanan khas Italia, pizza, yang asalnya dari negara sang pelatih.

Namun, toh apa kata orang, yang jelas para pemain Leicester City bertanding dengan sepenuh hati, tanpa beban, dan kerja keras tentunya. Selain itu, daripada disebut gaib, bukannya mereka lebih religius karena selalu berdoa terlebih dahulu atau selama pertandingan?

Yang jelas, apapun itu, Leicester juara kali ini, di Liga superketat dunia, yang katanya terbaik di dunia di antara liga-liga lain, adalah fenomena tersendiri. Leicester bukanlah sebuah cerita dongeng belaka. Ini dongeng yang telah menjadi kenyataan, sebab, di musim depan sudah hampir tidak mungkin lagi kita menyaksikan tim semenjana yang akan menjuarai Liga Primer Inggris kembali. Para tim besar pasti berbenah total untuk musim depan. Karena itu, Anda boleh ikut berbangga meski tim favorit Anda tidak mendapatkan jatah trofi musim ini.

Terima kasih Leicester, Grazie Claudio Ranieri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun