Hari ini, 2 Mei 2019 adalah hari pendidikan Nasional. Seperti biasa, tiap-tiap institusi---utamanya institusi pendidikan---menggelar Apel bendera di lingkungannya masing-masing dalam rangka memperingati hari pendidikan nasional. Meriah, bahkan beberapa institusi sekaligus menggelar seremoni pemberian penghargaan kepada mereka-mereka yang dianggap berjasa dalam memajukan pendidikan di negeri ini. Lalu, apa yang tidak berubah dari Hari Pendidikan Nasional? Seremoni-seremoninya? Atau pendidikan kita yang masih berada pada ambang yang begitu-begitu saja? Atau lagi, kita, sebagai insan berpendidikan yang masih tidak berubah; belum dewasa dalam menyikapi persoalan pendidikan dari hulu ke hilir? Semua pertanyaan ini menjadi renungan kita bersama, sebagai insan terdidik, pendidik dan sekaligus motor pendidikan bagi bangsa ini.
Baru tanggal 20-an lalu, adik saya menjalani Ujian Nasional Sekolah Dasar. Adik saya duduk di kelas 6 SDN No. 21 Mungguk Tawak. Sebuah sekolah SD yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, berada di pedalaman Kalimantan dan tidak di jangkau akses listrik. Dulu, adalah tempat saya menimba ilmu saat SD. Sekolah SDN 21 Mungguk Tawak tidak pernah menjadi penyelenggara tunggal Ujian Nasional. Jadi, setiap menjelang UN, semua siswa harus menginap ke rumah kepala sekolah di Kecamatan. Karena SDN penyelenggara UN ada di wilayah Kecamatan.
Adik saya, sebelum tanggal 21 April sudah menyiapkan peralatan untuk menginap bersama teman-temannya. Mereka membawa beras masing-masing 4 kilogram, dan patungan uang untuk keperluan sayur dan menginap di rumah kepala sekolah sebesar Rp. 150.000,- untuk biaya dan keperluan selama 3 hari menginap. Ujian Nasional, merupakan cerita yang tak indah bagi kami yang sekolah nya di pedalaman. Kadang tidak bisa fokus belajar saat menjelang Ujian Nasional, karena harus mengurus hal-hal yang sama sekali tidak menyangkut pelajaran untuk UN.
Adikku bilang, dia dan beberapa temannya tidak bisa tidur nyenyak saat malam hari. Bagaimana tidak, rumah orang lain tidak sama dengan rumah sendiri. Fokus belajar juga tidak begitu baik saat menjelang UN, sebab anak-anak lebih banyak yang bermain saat kumpul bersama. Hal yang sama juga saya alami saat Ujian Nasional SD tahun 2004 lalu.Â
Meski sudah lama, masih ingat dalam memori ku, bahwa kami harus ikut membantu istri guru kami (tempat kami menginap) memasak, menimba air, menyapu rumah, dan mencuci piring. Waktu belajar terbatas, bukan karena kemauan kami, namun keadaan yang kami pun tidak bisa menolak. Aku harap cerita yang sama tidak dialami adikku saat menginap menjelang UN kemarin.
Lalu, apa yang tidak berubah tentang pendidikan di wilayah pedalaman? Banyak sekolah SD yang harus meng-induk saat pelaksanaan Ujian Nasional. Di Kecamatan Balai, banyak sekolah dari desa-desa pedalaman yang harus Ujian Nasional di sekolah penyelenggara yang berpusat di kecamatan. Diantaranya SDN 21 Mungguk Tawak, yang dari zaman saya masih SD tahun 2004, sampai zaman adik saya Ujian Nasional bulan kemarin tahun 2019. Artinya, dalam waktu 15 tahun ini tidak ada banyak perubahan di sekolah saya yang berada di wilayah pedalaman.
Saya meyakini, potret SDN 21 Mungguk Tawak bukanlah satu-satunya sekolah yang mengalami hal ini. Melainkan banyak sekolah-sekolah SD lain di wilayah Kabupaten dan Provinsi lain yang juga mengalami hal serupa. Persoalan yang muncul bukan karena anak-anaknya tidak mampu dan tidak pintar. Melainkan akses dan kesempatan yang sangat-sangat terbatas. Persoalan lain seperti terbatasnya akses pengetahuan dan buku bagus, sehingga anak-anak terbatas mendapatkan pengetahuan dan ilmu.
Memang banyak faktor dalam melihat kemajuan pendidikan di negeri ini. Namun, faktor aksesibilitas sekolah di pedalaman dalam mendapatkan pengetahuan sangat tidak bisa diabaikan. Kemajuan pendidikan, tidak bisa melulu dilihat dari perolehan hasil nilai Ujian Nasional, semakin banyak dan meningkat siswa yang mendapatkan nilai bagus. Sama sekali bukan itu satu-satunya ukuran.
Kemudian, faktor penting dalam penentuan kualitas pendidikan adalah guru-guru yang memiliki pengetahuan yang baik tentang mata pelajaran yang diajarkan.Â
Saat saya SD dahulu, hanya ada 3 guru yang mengajar di SD kami, dan 1 guru menangani 2 kelas. Artinya semua mata pelajaran di 2 kelas tersebut menjadi tanggung jawab dan kewajiban guru tersebut dalam mengampu. Relalistis? Tentu sangat tidak fair, seorang guru mengajar 14 mata pelajaran sekaligus di dua tingkatan kelas yang berbeda. Tapi itulah realitanya, dan masih terjadi sampai hari ini. Meski saat ini sudah terdapat beberapa guru honorer yang membantu mengajar pada mata pelajaran umum seperti Agama Katolik dan Penjaskes.