Mohon tunggu...
Nikodemus Niko
Nikodemus Niko Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Saya hanya seorang penulis lepas, hidup di jalanan berbatu dan mati di atas rindu yang berserak.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

[Review] Boti: Pengetahuan Magis tentang Alam

11 Juni 2018   21:18 Diperbarui: 11 Juni 2018   21:30 1697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apresiasi saya setinggi-tingginya kepada produser, videografer, editor dan seluruh kru dalam pembuatan film dokumenter Boti ini. Di tangan mereka lah Boti menjadi pembelajaran kita bersama, mereka yang sudah berhasil menyuguhkan film dokumenter masyarakat lokal Indonesia. Kepada Watch Doc yang sudah menampilkan film ini melalui channel Youtube, terima kasih telah menyadarkan kami yang menonton film ini akan arti keindahan sebuah karya.

Boti adalah film dokumenter yang menampilkan kehidupan suku pedalaman di tanah Nusa Tenggara Timur. Suku Boti masih hidup bercengkerama dengan alam (close to nature), menjunjung tinggi nilai adat dan budaya peninggalan leluhur mereka, dan menjaga kelestarian dan keberlangsungan alam (lingkungan). Tidak salah jika film ini selain mengangkat nilai-nilai adat setempat, juga mengampanyekan penjagaan alam dengan pengetahuan lokal yang masih tradisional, dan berhasil.

Kearifan lokal menenun menjadi bukti kemagisan alam yang mereka kelola, dimana kain sarung bahkan kebutuhan seperti selimut mereka dapatkan dengan pengetahuan menenun. Bahan alami yang digunakan, mulai dari proses memetik bahan dari alam, membuat benang sampai menjadi kain tenun yang indah dan khas masyarakat Boti. Demikian juga dengan cara mereka memperindah kain dengan warna alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pengetahuan perempuan Boti tentang alam patut menjadi inspirasi dan renungan kita untuk turut menjaga dan merawat alam.

Selain itu, pengetahuan masyarakat dalam survive (bertahan hidup) dengan bertani subsisten (hasil tani tidak di jual, hanya untuk makan keluarga sehari-hari). Masyarakat Boti bahkan tidak menerima bantuan dari pemerintah, dan patut kita hargai dan hormati. 

Dengan pengetahuan yang mereka miliki, mereka dapat bertahan hidup secara tradisional, dan kita patut menghormati cara-cara mereka hidup. Terlebih alasan logis sang Raja Boti (Bapak Namah Benu), jika mereka menerima bantuan dari pemerintah, takutnya mereka akan malas bekerja, dan mereka hanya menunggu bantuan saja. Oleh karenanya, mereka harus tetap bekerja untuk kehidupan sehari-hari dan tidak menerima sumbangan pemerintah.

Kemudian, pengetahuan lokal lain yang saya turut kagumi adalah tentang kebaikan dan perdamaian yang mereka ajarkan kepada generasi-generasinya; jika seseorang berbuat baik semasa hidupnya, setelah mati jiwanya akan menjaga anak cucu dan tetap menjadi orang baik. Tapi jika seseorang berbuat sajah, maka akan berpengaruh negatif pada keluarga dan anak cucunya, sehingga kehidupan mereka akan menjadi susah. Logika sebab akibat yang bermakna dan berarti menjadi pembelajaran bagi kita, bahwa tidak akan pernah merugi orang-orang yang selalu berbuat baik.

Terdapat pula pesan yang tidak baik pada film Boti ini, yaitu tentang mempertanyakan "mengapa belum menikah, padahal harta sudah banyak". Seakan-akan mengkontruksikan bahwa dengan harta yang cukup dan berlimpah, tujuan pada akhirnya adalah menikah. 

Konstruksi ini pula yang terjadi pada generasi milenial, yang mana status belum menikah dengan usia yang cukup tua, akan menjadi persoalan masyarakat (khalayak banyak). Padahal semestinya menikah, ataupun tidak menikah, adalah urusan pribadi yang privat. Mempertanyakan seseorang, "kapan rencana menikah?" so annoying! Kemudian ada statement, "tunggu apalagi menikah, padahal uang sudah banyak, omset sudah banyak". Menikah dan tidak menikah, bukan hal yang berpaku pada keadaan material. Dengan banyak uang lalu harus menikah? Kan tidak!

Keberadaan orang-orang di luar kelompok Boti sendiri, setidaknya akan menjadi pengaruh bagi lokalitas Boti. Ketika kita lihat di film banyak orang Boti membeli peralatan seperti sendal jepit, adanya mp3 player, dan sembako seperti minyak goreng dan lainnya. Tadinya orang Boti tidak mengenakan alas kaki, dengan konstruksi dari orang di luar komunitas Boti, mereka dituntut juga menggunakan sendal. Lalu,yang tadinya masyarakat Boti membuat minyak goreng dari kelapa, dengan adanya minyak goreng kemasan, lokalitas dan cara mereka mendapatkan minyak akan bergeser.

Boti merupakan representasi Indonesia yang tidak akan pernah terganti. Adanya dokumenter tentang mereka, menjadikan kita dekat terhadap mereka, bahwa kita masih memiliki masyarakat yang kaya akan budaya, adat, dan nilai-nilai kehidupan. Mereka yang hidup tradisional bukan berarti mereka terpinggirkan, melainkan mereka mempertahankan ke-Indonesiaan itu sendiri, dan kita patut hormati itu, tidak boleh memaksa mereka untuk menerima perubahan ke arah yang modern. Bagi kita itu mungkin baik, namun bagi mereka bisa jadi akan tidak baik.

Saya meyakini masih banyak suku-suku di Indonesia yang masih mempertahankan hidup tradisional, sama seperti masyarakat Boti. Mereka yang mempertahankan cara-cara hidup tradisional adalah aset bangsa ini untuk dilestarikan, bahwa kita tidak pernah kehilangan identitas nusantara, dari dulu, masa kini, dan masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun