Belasan tahun lalu.....
Saat masa ku kanak-kanak,
Aku hanya menangis tersedu—tanpa berani bersuara,
Ketika bara api membakar tanah Borneo,
Ketika pertumpahan darah bersimbah di Bhumi Kalimantan....
Suara tembakan senjata menggedor telinga,
Jeritan dan tangisan mencekik leher,
Tak ku rasa lagi tubuhku gemetaran karena takut,
Mengerikan, menakutkan, tak ber-adab,
Ketika manusia mencabut nyawa manusia lainnya,
Dengan menembak, menombak dan memancung....
Berselang setelah itu...
Kutemukan tempayan kuning dan mangkok merah,
Terpajang di sepanjang jalan,
Simbol perdamaian di tanah air Khatulistiwa....
Lalu, setelahnya....
Suara perdamaian mulai menggema,
Dari tanah Kalimantan, tanah Poso hingga tanah Aceh,
Tiada lagi pembantaian dan pembunuhan manusia atas manusia lainnya....
Teruntuk hari ini....
Hari dimana kutemukan lagi (hari itu),
‘Hukuman Mati’....
Lagi-lagi di tanah ku berpijak kini—pulau jawa,
Saat ketakutan kembali menodong pikiranku,
Merobek tirai kisah yang sudah lama mati....
Lalu apa bedanya pembantaian manusia dahulu dengan masa kini?
Sama-sama menghilangkan nyawa....
Damaikah negeriku ini?
Bohong.....
Oh, kedamaian.....
Dimanakah kini?
Kusangka damai sudah mengubur Bumi Pertiwi,
Aku hanya mimpi untuk semalam,
Rupanya kedamaian hanya menjadi angan yang tak kunjung sampai.
#Puisi Untuk Presiden Indonesia
*Nikodemus Niko
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H