Mohon tunggu...
Nico Andrianto
Nico Andrianto Mohon Tunggu... -

Bersyukur dalam kejayaan, bersabar dalam cobaan......

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

#Puzzle 16: Srikandi-srikandi Cyber

14 Januari 2016   06:34 Diperbarui: 14 Januari 2016   07:34 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kicauan Tweeter saat ini telah mencapai 400 juta per hari. Kuliah Tweeter selalu dinanti para folower, seperti fatwa ulama klasik terhadap umatnya. Khotbah para “ayatollah tweeter” seperti pizza yang dihidangkan panas-panas yang siap disantap. Tapi tahukah kawan, mengikuti situs jejaring social berarti harus siap jika data milik kita dimanfaatkan. Apa haluan politikmu, apa ketertarikan sosialmu, apa karakteristik konsumerismemu, semua bisa diolah oleh pemilik Facebook untuk keuntungan ekonomi, politik, social dan keamanan. Kamu adalah yang kamu klik. Karena 20 juta pengguna Facebook di Nusantara saat ini hampir menyerupai populasi random sampling sebuah survey ilmiah. Tapi, hati-hatilah dengan informasi di akun Facebook-mu.

Di jaman teknologi informasi sekarang, informasi sudah tidak bisa dimonopoli. Pemborongan sebuah edisi majalah oleh mereka yang sakit hati, hanya akan membuang-buang uang, karena masih ada versi pdf atau digital yang bahkan bisa diunduh secara gratis. Ini adalah tentang sebuah revolusi informasi, dimana negara tidak lagi mampu menyensornya secara penuh. Jika sebuah alamat resmi internet diblokir, maka bisa dibuat alamat-alamat miror, yang bisa digandakan secara eksponensial oleh para hacktivist. Ini adalah senjakala era kekuasaan totalitarian, monopoli kuasaan berita, bahkan oleh kekuatan bermodal besar. Inilah sisi kebebasan yang memiliki nilai lebih jika dimanfaatkan secara positif, seperti Youtube yang bisa dimanfaatkan untuk menghantam kekuasaan culas yang korup lagi despotis.

Ini bukan hanya tentang siapa menguasai saham di situs-situs berita sehingga bisa mempengaruhi opini publik untuk tujuan politik tertentu, apalagi penguasaan koran yang tebal dan terdiri dari atom. Ini adalah tentang bit-bit perjuangan bagi sebuah keyakinan akan kebenaran universal. Bahwa manusia pada fitrahnya menyukai keadilan dan membenci kejahatan serta manipulasi kebenaran. Menyadari potensi kekuatan baru ini, China yang komunis telah lama melakukan sensor ketat atas akses sosial media. Google tidak kerasan dan memilih keluar dari Negeri Tirai Bambu, sementara Facebook benar-benar dilarang memasuki China. Negeri komunis itu telah lama mengembangkan konten internetnya sendiri untuk mempertahankan stabilitas sosialnya.

Ini bukan tentang pakar internet yang mengendap-endap menggunakan warnet di tempat-tempat paling tersembunyi untuk melakukan transaksi illegal; spamming, scamming, phishing, atau cracking. Juga bukan tentang pertukaran informasi melalui satu surat elektronik, hanya dengan membuka kata sandi. Bukan pula tentang kelompok yang merencanakan kekerasan di dunia nyata karena pandangan radikal yang sempit. Para penjahat bisa mengincar mangsanya menggunakan sosial media, dengan membaca status Facebook atau Tweeter-mu. Bukankah saat ini lebih sering alamat kita berada di @yahoo.com, Facebook.com, atau Tweeter.com, daripada sebuah jalan atau gang tertentu. Maka seorang tuna wisma di dunia maya berarti kaum paria di jaman teknologi informasi saat ini.

Pengetahuan adalah power. Sandi mesin Enigma Jerman pada Perang Dunia ke-II dipecahkan oleh Allan Turing dan Milton Keynes yang mampu membaca perintah komando Jerman, mulai terhadap Kapal U-Boat, Divisi Panzer, bahkan perintah Hitler sendiri yang mempercepat hasil akhir peperangan dua atau tiga tahun lebih awal. Dan internet adalah power saat ini. Hactivist adalah tentang para makhluk yang hidup di kegelapan dan tak mau terekspos oleh media. Mereka bekerja di jaringan-jaringan komputer dengan akses terbatas dan mengetahui kebohongan di tempatnya, lalu membocorkannya kepada publik, seperti seorang Bradley Manning sang pembocor kejahatan perang Amerika di Iraq. Ini tentang peperangan senyap yang efeknya bisa sangat dahsyat di dunia nyata.

Julian Assange sangat paham “senjata” apa yang sedang dipegangnya. Dengan lantang ia mengatakan[1]: “WikiLeaks had "dozens" of people who were helping the organisation deal with the cyber-attack and set up the mirror websites "but it takes a lot of time for us to manage the process". "We are automating that process and will soon have hundreds. If there is a battle between the US military and the preservation of History, we have insured History will win." "Bila keadilan belum bisa ditegakkan, paling tidak saya belum mati," ujarnya menambahkan.  

Ini bukan tentang para hacker yang menjebol kartu kredit atau data akses playstation untuk keuntungan pribadi, namun tentang pemanfaatan teknologi informasi untuk kebaikan masyarakat banyak. Ini tentang jihad (bersungguh-sungguh) dalam bentuknya yang hakiki demi amar ma’ruf nahi mungkar. Lihatlah situs-situs berakhiran leaks. Saat ini informasi tidak lagi bisa dimonopoli dan hanya memiliki satu pintu seperti dahulu. Dengan internet siapapun bisa memanfaatkannya untuk tujuan baik maupun buruk. Ini adalah tentang pemberontakan oleh orang-orang berkemampuan IT tinggi, namun tak selalu dalam posisi berkuasa. Kemampuan IT itulah kekuasaannya, dan dunia maya yang memungkinkan manusia tak bertemu muka menjadi habitatnya. Ini tentang gerak-gerik hati untuk menyuarakan kebenaran, dan ini sebenarnya adalah sebuah peperangan.

Peretas semacam pegiat Wikileaks adalah bentuk baru perlawanan kaum revolusioner di dunia maya. Seorangan Julian Assange berani melawan hegemoni negeri adi daya satu-satunya di muka bumi setelah perang dingin dengan merilis kabel diplomatik negeri tersebut yang membuat panas kuping nagara lain. Beberapa gerakan menuntut perubahan bisa jadi termotivasi oleh berita kebrobrokan para pemimpin negara lain yang terekam dalam kawat diplomatik itu. Tentang betapa korupnya para pemimpin negara, tentang tak bermoralnya para elit di banyak negara, dan tentang culasnya para tokoh politik.

Amerika, seperti dikonfirmasi oleh Edward Snowden, memiliki program untuk memata-matai berbagai negara dimana ratusan analis merekam kejadian-kejadian penting di negerimu. Sampai data-data rekening dan informasi penting seorang Sekjen PBB ada dalam pantauan negeri adikuasa itu. Tentu saja protes keras berbagai negara sah adanya, karena meskipun sadap-menyadap komunikasi “wajar” dalam konteks intelejen, memiliki syarat yang amat sangat ketat, yaitu tak ketahuan. Kalau informasi itu bocor, maka lain lagi ceritanya. Menguping pembicaraan pemimpin negara lain, apalagi sekutu dekat, adalah pelanggaran tata krama diplomatik internasional dan menunjukkan ketidakpercayaan.

Dengarlah kata-kata “Nabi” kaum ini, Julian Assange; seorang dengan psikologi maniak dalam obsesi besar keyakinan yang dipegang teguh olehnya. Seorang lulusan ANU ini mampu menggertak sebuah negeri adidaya. Para pejabatnya panas dingin oleh langkah-langkahnya. Alangkah “sakti”-nya orang satu ini. Dari kekacauan yang dibuatnya itu tentu tak ada satupun negara yang tak membencinya, meskipun banyak pula pendukungnya di dunia. Apa dia sudah tak punya urat takut. Apa jiwa mudanya membuatnya kurang perhitungan. Meski manusia tidak ada yang sempurna, dan ketaksempurnaannya itu dijadikan senjata untuk membungkamnya. Namun, sampai saat ini upaya itu belum berhasil. Sejauh ini, ia masih belum tersentuh.

Entah sampai kapan sampai ia terkena skak matt oleh gurita kekuasaan besar dunia. Entah sampai kapan, sampai “operasi komando” rahasia akhirnya menghentikannya untuk selama-lamanya. Atau mungkin kicauannya masih diperlukan oleh beberapa pihak untuk sebuah permainan politik “jurus dewa mabuk” yang sulit diprediksi ujungnya. Entahlah. Hal ini masih menjadi misteri besar sampai beberapa dekade kedepan, ketika rahasia harus dibuka demi memenuhi undang-undang keterbukaan informasi rahasia yang dianggap sudah kedaluarsa. Apakah ia pahlawan sejati atau alat politik, hanya waktu yang akan membuktikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun