Sedikit sekali orang Australia bisa berbahasa Indonesia atau bahasa lokal Indonesia lainnya. Dari yang sedikit tersebut, saya beruntung bisa mengobrol menggunakan bahasa Jawa dengan Professor George Quinn yang dikenal pakar Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa dari Australian National University. Bukan hanya berbahasa Jawa “ngoko”, tetapi “kromo inggil” yang bahkan generasi muda Indonesia berlatar belakang etnis Jawa sekalipun sudah jarang yang bisa menggunakannya. Percakapan itu terjadi sesaat setelah peresmian Balai Bahasa Indonesia oleh Mendiknas di Canberra. Dari percakapan itu saya peroleh informasi bahwa beliau belajar bahasa Jawa di Jogjakarta pada tahun 1968, sekitar lima tahun lamanya.
Saya jadi teringat cerita lucu ibu saya saat berdarmawisata di Jogjakarta sekitar tahun 1980-an. Saat itu ada seorang bule yang ikut naik kendaraan colt yang membawa ibu-ibu wisnu (wisatawan Nusantara) tersebut. Karena memiliki badan yang ekstra besar, posisi duduk si bule terpaksa mendesak penumpang lainnya. Dengan maksud bergurau ibu saya menyindir si bule dengan memakai bahasa Jawa agar tidak ketahuan, “lungguhan dadi sumpek mergo walang kadung siji iku” (tempat duduk menjadi terasa sempit karena si belalang sembah itu) yang disambut derai tawa ibu-ibu lainnya. Tanpa diduga, saat turun di tempat tujuan si bule berseloroh, “nuwun sewu, walang kadung badhe mandap rumiyin” (permisi, belalang sembah mau turun dulu), yang serta-merta mengundang senyum malu ibu-ibu tersebut.
Pada tahun-tahun 1980-an memang banyak orang Australia mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa lokal Indonesia lainnya. Sebagai tetangga terdekat, Indonesia dipandang penting dalam bidang ekonomi, politik dan pertahanan. Waktu itu Indonesia tumbuh sebagai kekuatan regional di ASEAN baik secara ekonomi dan politik sehingga memiliki pengaruh yang signifikan di kawasan. Dalam konteks seperti itu, orang-orang Australia banyak yang tertarik belajar Bahasa Indonesia, selain tentu saja karena keinginan untuk mengenal budaya Indonesia dan tempat-tempat wisatanya.
Dalam pidato peresmiannya, Mendiknas Professor Muhammad Nuh menyampaikan pentingnya menyebarkan bahasa dan budaya Indonesia sebagai sarana mempereat hubungan kedua negara yang banyak memiliki perbedaan. Perbedaan-perbedaan etnis, warna kulit, budaya, agama, dan orientasi politik antara kedua negara bisa dijembatani dengan adanya saling pemahaman, dan bahasa Indonesia adalah salah satu instrument penting dalam proses tersebut. Mendiknas juga menyampaikan bahwa tersebarnya bahasa dan budaya adalah salah satu bentuk soft power suatu negara. Beliau juga menyampaikan dukungan penuh atas upaya-upaya memperkenalkan bahasa Indonesia, termasuk dengan dibentuknya direktorat baru di kementeriannya sebagai implementasi dari undang-undang bahasa negara.
Dalam acara tersebut seorang guru Bahasa Indonesia menyerahkan kepada Mendiknas, karya tulis dari para pelajar Bahasa Indonesia dari sekolah di Canberra yang salah satu slide kegiatannya turut diproyeksikan di layar. Juga, seorang sesepuh masyarakat Indonesia menyampaikan hasil karya murid beliau berupa lukisan bercorak Eropa yang dibuat dengan teknik membatik Indonesia. Tampilan batik memang mendominasi acara tersebut, sebagaimana dikenakan sang pembawa acara, Sarah Dinsmore, serta tokoh-tokoh masyarakat Australia dan para mahasiswa Indonesia yang hadir. Internasionalisme batik bisa dilihat dari seorang Nelson Mandela yang dikenal sering tampil di berbagai acara internasional dengan pakaian yang corak kainnya dilukis tangan dengan menggunakan alat canting tersebut.
“Tak kenal, maka tak sayang”, demikian bunyi pepatah populer kita. Kalau di Indonesia banyak pengemar Radio Australia, sebaliknya kita juga harus memiliki media untuk memperkenalkan budaya dan bahasa Indonesia di khalayak Australia, termasuk melalui koran komunitas Fajar Australia ini. Banyak cara untuk memperkenalkan Indonesia kepada dunia internasional, misalnya melalui martial art (pencak silat) serta kain atau musik tradisonal asli Indonesia. Semakin intens hubungan antara penduduk kedua negara, semakin mudah kerja misi diplomatik kita di Australia. Namun untuk sampai kesana perlu upaya terus menerus dan sinergis dari segenap komponen diplomatik dan masyarakat Indonesia di Australia. Dan Balai Bahasa Indonesia adalah awal yang baik untuk menghasilkan Pak Quinn-Pak Quinnlainnya. Wallohu a’lam bissawab.
Dimuat di Koran Fajar Australia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H