Mohon tunggu...
nickyalintia
nickyalintia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Book

Kemanusiaan dan Pembaruan Masyarakat Muslim Indonesia

30 November 2024   12:59 Diperbarui: 30 November 2024   12:59 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Bagian 1: Spiritualitas, Kemanusiaan, dan Kesemestaan

Buku Kemanusiaan dan Pembaruan Masyarakat Muslim Indonesia dimulai dengan membahas topik yang sangat mendalam dan luas, yaitu hubungan antara manusia, spiritualitas, dan kemanusiaan. Di bagian pertama ini, penulis mencoba untuk menggali inti dari kemanusiaan dan bagaimana nilai-nilai spiritual bisa membentuk dan mengarahkan kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh besar yang dibahas dalam buku ini adalah Allama Iqbal, seorang filsuf dan penyair dari Pakistan yang terkenal dengan pemikirannya tentang kemanusiaan dan pembaruan. Iqbal menekankan bahwa manusia harus memiliki kesadaran akan potensi dalam dirinya dan bahwa pembaruan atau tajdid adalah kunci untuk meraih tujuan hidup yang lebih tinggi.

Iqbal percaya bahwa manusia memiliki potensi luar biasa yang sering kali tertutup oleh keterbatasan dan ketidakpahaman diri. Untuk itu, Iqbal mendorong setiap individu untuk melakukan introspeksi diri dan mencari kebenaran dengan cara yang lebih holistik, yaitu melalui pembelajaran yang terus-menerus dan pengembangan spiritual. Menurutnya, manusia bukan hanya diciptakan untuk hidup dengan rutinitas sehari-hari, tetapi juga untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi dan untuk menjalani hidup dengan makna yang lebih dalam. Melalui pembaruan spiritual ini, setiap orang bisa mencapai kehidupan yang lebih mulia dan lebih bermakna.

Selanjutnya, buku ini juga membahas tentang paham teologi tulang rusuk. Paham ini sering digunakan untuk menggambarkan hubungan antara pria dan wanita dalam pandangan agama, yang sering kali memposisikan wanita sebagai makhluk yang lebih rendah atau sebagai bagian dari pria. Penulis mengajak pembaca untuk merenungkan kembali pandangan ini, karena menurutnya, pandangan ini tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai kesetaraan yang diajarkan dalam agama Islam. Dalam banyak ajaran Islam, laki-laki dan perempuan sebenarnya diposisikan sejajar, dan keduanya diberikan hak dan kewajiban yang sama dalam banyak hal, terutama dalam konteks spiritualitas dan moralitas.

Dalam buku ini, penulis juga merujuk pada pemikiran Erich Fromm, seorang psikolog terkenal yang mengembangkan teori tentang cinta. Fromm membedakan antara berbagai bentuk cinta, dari cinta romantis hingga cinta sosial, yang lebih mengarah pada kasih sayang terhadap sesama umat manusia. Cinta sosial inilah yang dianggap sebagai kekuatan pembebasan yang dapat menyatukan umat manusia dalam harmoni. Penulis menjelaskan bahwa cinta, dalam pengertian yang lebih luas, adalah salah satu kekuatan paling transformatif yang ada dalam kehidupan manusia, karena cinta bisa menjadi jembatan yang mengatasi segala bentuk perbedaan dan konflik antar individu dan kelompok.

Selain itu, penulis juga membahas spiritualitas dalam ajaran Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar yang mengajarkan cinta sebagai jalan menuju Tuhan. Rumi mengajarkan bahwa spiritualitas sejati melampaui batasan agama dan budaya. Dalam pandangannya, cinta adalah bahasa universal yang dapat menyatukan umat manusia dari berbagai latar belakang. Rumi juga menekankan pentingnya kesadaran diri sebagai langkah pertama dalam mencapai kedekatan dengan Tuhan. Kesadaran diri ini bisa diperoleh melalui perenungan yang mendalam, meditasi, dan penerimaan terhadap segala perbedaan yang ada dalam hidup.

Penulis juga menggali aspek penderitaan manusia, mengapa banyak orang merasa hidupnya penuh dengan kesulitan dan ujian. Melalui berbagai contoh, seperti bencana gempa bumi yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, penulis menunjukkan bahwa penderitaan bukan hanya sebuah ujian, tetapi juga sebuah proses pembelajaran yang bisa memperkuat karakter manusia. Dalam banyak situasi sulit, manusia seringkali menemukan kekuatan dan ketahanan yang tidak mereka sadari sebelumnya. Penderitaan bisa menjadi sarana untuk merenung, memperbaiki diri, dan menyadari pentingnya solidaritas antar sesama.

Di akhir bagian pertama ini, penulis juga menyoroti karya-karya Nawal El Saadawi, seorang penulis dan aktivis perempuan dari Mesir yang banyak menulis tentang ketidakadilan terhadap perempuan di dunia Arab. Karya-karya El Saadawi dianggap relevan untuk menganalisis ketidaksetaraan gender yang ada di masyarakat kita, serta memberikan wawasan tentang bagaimana perempuan sering kali dipinggirkan dalam banyak aspek kehidupan. Penulis mengajak pembaca untuk melihat karya-karya El Saadawi sebagai bentuk perjuangan untuk memberikan hak dan martabat yang lebih tinggi bagi perempuan di dunia ini.

Bagian 2: Islam dan Ikhtiar Penyegaran Ajarannya

Masuk ke bagian kedua buku ini, penulis mulai mengajak pembaca untuk melihat kembali ajaran Islam dalam konteks zaman yang semakin berkembang. Islam, menurut penulis, bukanlah agama yang statis, melainkan agama yang bisa terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Salah satu topik utama yang dibahas adalah keragaman wajah Islam, yang menggambarkan bagaimana Islam diterima dan dipraktikkan di berbagai belahan dunia. Dari Timur Tengah hingga Indonesia, Islam memiliki beragam bentuk dan cara penerapan, tergantung pada konteks budaya, sosial, dan politik di masing-masing negara.

Penulis juga membahas fenomena radikalisasi di lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, yang seharusnya menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai kedamaian dan toleransi. Namun, ada beberapa pesantren yang justru menjadi tempat berkembangnya pemikiran ekstremis yang dapat menyesatkan generasi muda. Penulis mengingatkan kita bahwa pendidikan Islam yang seharusnya menjadi sumber pencerahan, justru bisa menjadi sumber perpecahan jika tidak diimbangi dengan penanaman nalar kritis yang baik. Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan Islam untuk mengajarkan pentingnya berpikir terbuka dan menghindari dogma-dogma yang bersifat ekstrem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun