SDN Cikeruh I salah satu sekolah berlokasi di wilayah pendidikan bertarap internasional,  Jatinangor. Sulit dikira, bila  Kepala SD ini, Nina Tarlina Widianingsih,  sebelumnya,  ia kepala sekolah di wilayah terpencil, yakni SDN Cikamuning di Kecamatan Sumedang Selatan. Dua sekolah dengan kondisi tempat yang cukup jauh berbeda.  SDN Cikeruh I berada di  wilayah perkotaan Jatinangor.  Sementara, SD Cikamuning, berada di wilayah desa terpencil dengan medannya sulit dilalui kendaraan.
Terhitung cukup lama, Nina Tarlina menjadi Kepala SD Cikamuning. Bahkan, menurut pengakuannya,  bisa jadi, kepala sekolah terlama yang  memimpin sekolah itu, " Hampir 8 tahun jadi Kepala SD Cikamuning. Lima belas semester. Kata guru-guru di sana, kepala sekolah sebelumnya paling  hanya satu dua tahunan. Saya tidak pernah minta pindah. Pahit getir saya jalani dengan ikhlas, " tutur Nina yang lahir dari keluarga pendidik.
Nina pun bertutur tentang pengalaman pahitnya selama tugas di SDN Cikamuning. Jarak tempuh dari tempat tinggal ke lokasi sekolah terhitung cukup jauh. Seringkali terjebak kemacetan. Harus melewati medan rawan longsor, seperti Cadaspangeran. Lepas turun dari angkot, ia harus menempuh medan berat dengan ojek. Selama 8 tahun itulah, Nina merasa tiap hari terus berpacu dengan pergelutan medan berat dan waktu tempuh.
Pada satu rotasi / mutasi jabatan, Disdik Sumedang  memindah tugaskan Nina ke SDN Cikeruh 1 di Kecamatan Jatinangor. Satu kondisi lokasi sekolah jauh berbeda. Tapi, bagi Nina, kepindahannya ke Jatinangor seolah membuka kembali kenangan lamanya. Saat  belum jadi kepala sekolah. Hampir 29 tahun ia  jadi guru di SDN Cibeusi Jatinangor. Malah ia mengaku jadi saksi kemajuan SD Cibeusi saat sekolah itu dipimpin Kepsek Ruhyana dan Ketua Komite Sekolah Dadang Adnan.
Nina merasa ada dua situasi berbeda saat dirinya menjadi Kepala SD Cikamuning dengan saat kini ia menjadi Kepala SDN Cikeruh 1. Terutama pada pola pikir siswa-siswanya. Para siswa di SDN Cikamuning kebanyakan lahir dari keluarga petani dan peternak. Mereka telah jadi keharusan bila setelah sekolah itu, nyabit rumput atau bekerja bantu orang tua di sawah atau di ladang. Seringkali, situasi demikian, agak menghambat pada eksistensi kegiatan ekstrakulikuler.
" Situasi di Jatinangor jangan ditanya. Guru-gurunya oke. Orang tua siswa lebih mengerti. Jadi minat siswa- siswanya juga untuk mengikuti arahan sekolah lebih tinggi. Karena, ya itu, faktor daya dukung orang tua sangat menentukan. Beda dengan situasi di kampung. Contohnya, Â bila ada siswa berpotensi, akan diikutkan lomba, Â seringkali susah untuk diajak latihan. Alasannya, bantu di sawah, bantu di kebun, dan alasan lainnya lagi," tuturnya. Namun, kata Nina, apapun jenis perbedaan pada setiap sekolah, sudah menjadi kewajiban untuk bisa mengantisipasinya. ( Tatang Tarmedi )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H