Lelaki paling aneh di dunia, menurutku ya ayah. Ia tak pernah ngeluh. Tak pernah ngesah. Ke setiap orang selalu nyapa. Senyum selalu jadi bumbu kesehariannya.
Sebenarnya, itu bukan satu keanehan. Banyak orang dengan type begitu. Namun, gaya hidup ayah itulah yang jarang dimiliki orang. Ia  tak pernah takut miliknya diambil orang. Satu contoh. Puluhan ayam peliharaan ayah tak pernah ia kurung. Siang malam berkeliaran di halaman rumah.
Ketika aku beritahu, " Ayah, kenapa ayam-ayam tak dikandangkan malam-malam begini ?" Bagaimana kata ayah, " Biarin nak, dia pun ingin kebebasan layaknya manusia."
Kadang, aku suka serang lagi ungkapan ayah itu , " Tapi, kalau ayamnya ada yang ngambil baru ayah nyesal." Bagaimana jawab ayah ? " Nak, bila ayam itu ada yang ngambil, berarti telah jadi rejekinya yang ngambil. Bukan lagi rejeki kita.
Makanya, kata ayah, bilang kita pelihara ternak ato apapun, harus ada dua bagian. Satu bagian diniatan untuk keperluan kita. Bagian lainnya untuk jatah yang ngambil. Bila ada niatan begitu, ketika peliharaan kita ada yang ngambil tak bakal nyesal, berarti itu telah jadi rejekinya yang ngambil" kata ayah sambil tertawa.
Ah dasar lelaki aneh. Aku kadang malas bila ayah ngajak ngobrol. Perkataanya selalu bikin aku bingung. Pernah di suatu waktu, ayah memanggilku," Ayah ingin beri mutiara bagimu," katanya.
Mutiara dari mana ayah, rumah pun hampir roboh. Bila ada simpanan mutiara, ya udah jual saja buat memperbaiki rumah. Ayah lalu ambil secarik kertas, menulis pakai spidol hitam, " duren " ini buah kesukaanmu kan ?" Tanya ayah. Aku ngangguk.
Ayah bertanya lagi," Menurutmu, ini tulisan duren atau aslinya duren ?" Aku berpikir dalam, setelah lama baru aku jawab," Ya itu mah tulisan duren atuh yah," jawabku.
Ayah tersenyum, " Benar jawabanmu itu. Bila itu tulisan duren, lalu aslinya duren mana ?" tanyanya lagi.
Sebenarnya, aku tak mau jawab, tapi ayah selalu ingin bila pertanyaanya jadi jawaban, " Aslinya duren ada di kebun yah, bentuk cangkangnya berduri. Bila dibelah, buah duren masak beraroma khas begitu," jawabku.
Ayah tertawa, tak pikirkan bila aku bosan. Ia menulis lagi di kertas lain, " Ahmad " lo itu kan namaku, ayah." Kataku.