Mengintip Kehidupan Santri: Kesederhanaan yang Menginspirasi
Ketika berbicara tentang santri, gambaran kehidupan sederhana langsung terbayang. Namun, saat benar-benar melihat langsung di Pondok Pesantren Nur El Falah, kesederhanaan itu berubah menjadi simbol kekuatan dan keteguhan hati. Para santri hidup dalam fasilitas minimalis seperti berbagi kamar kecil, berbagi makanan, dan sering kali mengandalkan peralatan yang sudah usang. Tapi, di balik kesederhanaan itu, mereka memancarkan semangat yang luar biasa untuk belajar dan berkembang.
Kehidupan di pesantren mengajarkan arti kesyukuran yang mendalam. Setiap makanan sederhana di ruang makan bersama (mad'am), seperti nasi dengan tempe, disambut dengan doa syukur. Ini menunjukkan bahwa nilai kebersamaan dan rasa cukup menjadi inti dari keseharian mereka. Tidak ada rasa iri atau mengeluh, melainkan justru kebahagiaan dalam kebersamaan. Para santri membuktikan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada apa yang dimiliki, tetapi pada bagaimana kita mensyukuri yang ada.
Selain itu, interaksi mereka dengan teman-teman dan para pembimbing di pesantren memperlihatkan harmoni yang luar biasa. Mereka saling membantu tanpa pamrih, baik dalam belajar maupun dalam tugas sehari-hari seperti membersihkan asrama. Kesederhanaan ini menjadi pondasi yang tidak hanya mempererat persahabatan, tetapi juga membangun karakter yang kokoh.
Kontras Kehidupan: Santri dan Siswa Kota
Pengalaman saya sebagai siswa di Kolese Kanisius sangat kontras dengan kehidupan para santri. Di Jakarta, fasilitas sekolah yang modern sudah menjadi bagian dari keseharian. Ruang kelas ber-AC, akses teknologi yang tak terbatas, dan berbagai kemudahan lainnya. Sebaliknya, para santri harus berjuang dengan keterbatasan. Tidak ada meja belajar pribadi atau perangkat elektronik canggih. Namun, itu tidak menghalangi mereka untuk terus belajar dan mencapai cita-cita.
Kesederhanaan para santri menjadi cermin untuk merefleksikan gaya hidup siswa kota. Mungkin, terlalu mudah bagi siswa di perkotaan untuk lupa bersyukur karena segala sesuatu sudah tersedia. Melihat kehidupan santri yang tetap teguh meski dengan keterbatasan membuat saya sadar bahwa fasilitas bukanlah jaminan keberhasilan. Yang lebih penting adalah kemauan keras untuk memanfaatkan apa yang ada dengan sebaik-baiknya.
Saya juga terkesan dengan cara mereka menghormati setiap kesempatan yang diberikan. Bagi para santri, belajar bukan hanya kewajiban, tetapi juga anugerah yang harus disyukuri. Sementara itu, di sekolah modern, siswa sering kali menganggap belajar sebagai rutinitas biasa yang bisa disepelekan. Kontras ini mengajarkan bahwa keberhasilan sejati bergantung pada usaha, bukan pada kemewahan.
Rutinitas Harian: Disiplin sebagai Pilar Utama
Rutinitas para santri adalah bukti nyata dari pentingnya kedisiplinan. Mereka bangun sebelum fajar, menjalankan ibadah Subuh berjamaah, lalu melanjutkan dengan kegiatan belajar tanpa jeda panjang. Sebagai seseorang yang terbiasa dengan jam tidur yang cukup, menjalani rutinitas seperti ini selama kunjungan menjadi tantangan besar. Namun, bagi para santri, ini adalah bagian normal dari kehidupan mereka.
Rutinitas yang ketat ini bukan tanpa tujuan. Kedisiplinan membentuk mentalitas mereka untuk siap menghadapi berbagai tantangan. Misalnya, bangun pagi tidak hanya sekadar kewajiban religius, tetapi juga cara untuk menghormati waktu. Setelah ibadah, mereka memanfaatkan setiap menit dengan produktif, baik untuk belajar, menghafal kitab, atau membantu teman-teman mereka.
Bagi saya, kedisiplinan seperti ini adalah pelajaran berharga. Di Kanisius, kita memiliki waktu lebih fleksibel dan fasilitas lengkap, tetapi sering kali tidak dimanfaatkan sepenuhnya. Sebaliknya, para santri menunjukkan bahwa keterbatasan tidak menjadi alasan untuk bermalas-malasan. Setiap hari adalah peluang untuk belajar dan bertumbuh, dan mereka menjalani itu dengan sepenuh hati.
Semangat Olahraga: Mengembangkan Potensi di Tengah Keterbatasan
Olahraga adalah salah satu cara para santri menyeimbangkan kehidupan mereka yang penuh dengan belajar dan beribadah. Meskipun fasilitas olahraga sangat terbatas, semangat mereka tidak pernah surut. Saya sempat bermain voli bersama mereka di lapangan sederhana yang hanya beralaskan tanah. Namun, permainan itu terasa penuh semangat dan kebersamaan, menunjukkan bahwa fasilitas bukanlah segalanya.
Selain voli, saya juga terlibat dalam sesi pencak silat bersama salah satu santri. Meski hanya menggunakan peralatan seadanya, kemampuan mereka tidak kalah dari atlet profesional. Salah satu santri bahkan bercita-cita menjadi atlet nasional. Cita-cita ini mungkin terdengar ambisius, tetapi semangat yang mereka tunjukkan membuat saya yakin bahwa mimpi tersebut bukanlah hal yang mustahil.
Keterbatasan sering kali melahirkan kreativitas, dan itu terlihat jelas dalam cara mereka berolahraga. Mereka tidak membutuhkan fasilitas mahal untuk tetap aktif dan produktif. Pelajaran ini sangat relevan, terutama bagi kita yang sering kali mengeluh meskipun memiliki segala kemudahan. Para santri mengajarkan bahwa semangat dan kerja keras lebih penting daripada alat atau fasilitas.
Hikmah Kehidupan: Pelajaran untuk Kanisian
Dari kehidupan santri, saya belajar bahwa kedisiplinan dan kebersamaan adalah kunci sukses yang sering diabaikan. Di Kanisius, kita sering terlena dengan kemudahan yang ada, tetapi di pesantren, segala sesuatu harus diperjuangkan. Rutinitas mereka yang ketat menunjukkan bahwa keberhasilan memerlukan usaha yang konsisten dan tidak instan.
Selain itu, nilai kebersamaan yang mereka junjung tinggi adalah pelajaran yang sangat penting. Hidup di lingkungan yang serba sederhana tidak membuat mereka kehilangan semangat. Sebaliknya, mereka saling mendukung dan menciptakan rasa komunitas yang kuat. Ini mengingatkan saya bahwa keberhasilan individu juga bergantung pada dukungan dari orang-orang di sekitar.
Para santri juga mengajarkan pentingnya rasa syukur. Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, mereka tetap bisa merasa bahagia dan bersyukur. Ini menjadi pelajaran penting bagi kita yang sering kali merasa tidak puas meski sudah memiliki banyak.
Jika dibandingkan, kehidupan santri bisa diibaratkan sebagai perjalanan mendaki gunung. Mereka memulai perjalanan dengan langkah-langkah kecil yang melelahkan, namun setiap langkah tersebut membawa mereka lebih dekat ke puncak. Di sisi lain, kehidupan siswa di sekolah modern seperti Kanisius mungkin lebih menyerupai jalan tol: lurus dan cepat, tetapi tanpa banyak tantangan. Dalam mendaki gunung, setiap rintangan yang dihadapi justru memperkuat tekad dan rasa syukur ketika sampai di puncak.
Keindahan Keberagaman: Belajar dari Perbedaan
Keberagaman yang saya saksikan di Pondok Pesantren Nur El Falah adalah pelajaran berharga. Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, para santri mampu hidup berdampingan dengan damai. Mereka saling menghormati dan menerima perbedaan dengan lapang dada. Ini adalah bukti nyata bahwa harmoni dapat tercipta meskipun ada perbedaan.
Pengalaman ini juga mengajarkan pentingnya hidup sederhana tetapi bermakna. Para santri mungkin tidak memiliki banyak dalam hal materi, tetapi mereka memiliki kekayaan spiritual dan moral yang luar biasa. Hidup mereka adalah bukti bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada apa yang kita miliki, tetapi pada bagaimana kita menjalani hidup.
Sebagai siswa Kanisius, pengalaman ini mengingatkan saya untuk lebih menghargai keberagaman dan kesederhanaan. Kita sering kali terjebak dalam kompetisi dan lupa untuk melihat nilai-nilai yang lebih esensial. Para santri mengajarkan bahwa kehidupan adalah tentang menjalani setiap momen dengan rasa syukur dan semangat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI