[caption id="attachment_314127" align="aligncenter" width="300" caption="Mantan presiden Indonesia, Ir.Soekarno. Sumber: indocropcircles.wordpress.com"][/caption] Indonesia merupakan kekuatan terbesar di Asia Tenggara pada masa Orde Lama. Angkatan perang yang dibangun presiden Soekarno mengalami titik kulminasi (tertinggi) kehebatan yang membuat negara-negara barat merasa perlu menjadikan Indonesia sebagai sekutu di kawasan Asia Tenggara. Sayangnya, kiblat Soekarno lebih mengarah pada kekuatan Uni Soviet dan China sehingga terbentuklah Jakarta-Beijing-Moscow. Inilah yang membuat Amerika Serikat khawatir bahwa Indonesia akan menjadi pusat kekuatan Komunis, musuh bebuyutan paham Demokrasi Liberal Barat. Soekarno jelas menentang slogan AS, yaitu "Go To Hell." Bahkan, Soekarno sudah mematangkan rencana untuk menasionalkan perusahaan eksploitasi minyak terbesar, Caltex (yang sekarang bernama Chevron), raksasa perusahaan minyak milik AS. Di dalam negeri sendiri kekuatan partai Komunis juga semakin mendekat ke lingkaran kekuasaan. Kebijakan-kebijakan politik dan keamanan Soekarno banyak yang menguntungkan partai Komunis sehingga membuat kekuatan eksternal AS dan partai-partai Islam di Indonesia menjadi resah. Momentum inilah dimanfaatkan oleh AS menggurita intelijennya, CIA (Central Intelligence Agency). Mencari Sahabat Tugas agen-agen CIA di negara-negara lain adalah untuk melakukan propaganda terselubung agar terciptak instabilitas (ketidak stabilan). Selain itu juga untuk menghimpun informasi penting dari negara sasaran agar dapat dijakan bahan evaluasi strategi dan kebijakan luar negeri mereka. Salah satu langkah pentingnya adalah menggandeng oposisi pemerintah yang sedang berkuasa atau sosok penting yang memiliki pengaruh dan kekuatan ber-senjata 'sahabat' dalam upaya menggulingkan kekuasaan. Stratego ini sangat jitu dan dan berhasil. Chili dan Iran merupakan dua negara yang perna diaduk-aduk oleh propaganda CIA. Sehingga kedua negara itu sempat menjadi sahabat-sahabat AS. Di Indonesia sosok yang paling ketika itu adalah Letjen Soeharto. Seorang perwira tinggi yang menguasai beberapa batalion pasukan, khususnya angkatan darat. Karakter oportunis (paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan sendiri) Soeharto juga menjadi pertimbangan psikologis bagi CIA untuk memilih dirinya sebagai sahabat. Ada dugaan sejarah bahwa peristiwa 30-September-1965 merupakan Grand Design (Desain Besar) Soeharto dan AS untuk menciptakan Instabitas negara. Keterlibatan AS sudah sangat jelas. Apa lagi setelah diterbitkannya buku Foreign Relation Of the United States yang tebalnya mencapai 800 halaman khusus mengenai Indonesia, memuat dokumen-dokumen tentang keterlibatan AS. Skenario dirancang seolah-olah Partai Komunis Indonesia merencanakan sebuah d'etat (kudeta) untuk menggulingkan pemerintahan. Nostalgia peristiwa PKI Madiun 1948, menjadi bumbu penyedap bahwa ingin mengulang kembali pemberontakan. Puncaknya adalah pembunuhan jenderal-jenderal di lingkaran kekuasaan Soekarno yang difitnah sebagai dalang rencana kudeta. Meskipun ada kecurigaan mengapa Jenderal Soeharto tak diculik? Pada hal, posisinya sangat strategis, yaitu Komandan tertinggi Kostrad. Inilah yang menjadi salah satu alasan banyak orang yang mencurigai bahwa Soeharto justru yang berada di rekayasa penculikan dan pembunuhan para Jendral, serta pembatanian sekitar satu juta orang yang dituduh sebagai Komunis. Mengubah Arah Kiblat Politik dan Ekonomi [caption id="attachment_314128" align="alignnone" width="300" caption="Sang Diktaktor, Soeharto. Sumber: indocropcircles.wordpress.com"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H