Mohon tunggu...
Nicko Kharisma Gunawan
Nicko Kharisma Gunawan Mohon Tunggu... Penerjemah - -

Membaca itu seperti menyaksikan kisah dalam setiap dunia yang berputar, melainkan menulis adalah bagian teristimewa dari setiap dunia itu diciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jebakan Termanis

20 Maret 2023   15:54 Diperbarui: 20 Maret 2023   16:04 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya Dorothy. Aku biasa memanggilnya Roti. Semua karena kedekatan kami yang seakan panggilan itu terdengar seperti sebutan sayang. Aku sendiri yakin jikalau kami memang saling sayang. Namun bukan sayang yang berlebih-lebihan, karena sesungguhnya dialah milik seseorang. Bukan juga seorang asing yang jauh tak terjangkaukan. Melainkan sahabatku sendiri, Juna. Aku tak mengerti hingga sekarang, apa yang kurang dari hubungan itu, yang mereka jalin setahun belakangan sejak tempat mereka bekerja hanya berbatas jarak ruangan.

Segala cerita buruk tentang Juna meluncur pesat dari bibir merahnya itu. Sesungguhnya, aku sengaja menemuinya untuk sekedar menikmati kopi sore hari. Dan itulah pesan pamitku kepada istriku. Namun tetap saja, obrolan kami tak jauh dari persoalan hubungan mereka pula. Hingga air mata wanita itu kemudian berjatuhan melunturi bedak di pipi halusnya yang kemerahan, sebab ia teringat segala kekerasan yang Juna lakukan padanya. Persoalan itu terdengar sepele di telingaku. Juna tidak diperbolehkannya menjemput karena jarak mereka yang sedang berjauhan. Sepertinya, api cemburu terlanjur membakarnya. Yang tak juga diketahui sumbernya, hingga ia menjadi buta karena menganggap seseorang akan mengisi tugasnya itu. Juna kala itu menghadiri pertemuan penting di daerah lain.

Roti kemudian sesenggukkan. Lantaran tamparan dan tendangan telah ia telan minggu lalu yang sebelumnya tak pernah kejadian. Sebenarnya, keduanya sama-sama melibatkan aku dalam hubungan ini, yang menurut mereka akulah orang yang tepat sebagai pendengar di setiap hal yang terjadi. Aku tahu Juna orang yang sangat percaya kepadaku, kepada setiap saran yang seringkali menggenangi lubang telinganya. Aku tak pernah memintanya untuk sejalan denganku, namun seolah semua itu dianggapnya benar dan ia kudu melakoninya. Entah, barangkali karena aku telah lebih dulu menikah sehingga buah pikiran itu berujung kepercayaan yang kuat adanya. Ia sama sekali berbeda denganku, jikalau aku tak sedikitpun pernah menanamkan rasa percaya kepada siapapun. Yang aku tahu, manusia lah tempat segala perubahan, yang terkadang akan memicu kekacauan.

Keduanya sama-sama alot, seperti kepala martil yang menyerang sebongkah batu, menyisakan kepingan-kepingan kekecewaan yang berhamburan pada akhirnya. Hingga telingaku lah sasaran empuk keluhan demi keluhan. Aku tak pernah mempermasalahkan hal demikian. Aku hanya tak ingin ikut campur, Juna adalah sahabat baikku sejak lama. Aku hanya ingin mereka bertukar pikiran, dengan cara mereka, dengan keputusan terbaik menurut mereka. Aku tak ingin Roti menganggapku menjadi pemihak Juna, atau mata-mata yang siap menyerap serapah yang ia sematkan di setiap kalimatnya, sebab Roti baru dua tahun ini kukenal dekat. Sosok itu sangat baik menurutku. Wanita yang mandiri, cerdas, dan akan nyambung untuk segala macam bahasan dalam setiap pembicaraan. Sebetulnya, mereka cocok secara fisik jika kau melihatnya. Juna beruntung, karena justru ia adalah sosok kebalikannya.

Untung atau rugi, sepertinya Juna tak peduli. Roti telah ditinggalnya pergi selama empat hari. Tak ada kabar yang setidaknya menenangkan hati. Sejak kekerasan itu, Juna lebih mementingkan acara-acara dalam komunitas motor gede yang ia ikuti. Setelah itu, tak ada lanjutan komunikasi di antara mereka berdua. Aku tahu, Roti sangat kecewa. Hatinya sakit dan fisiknya telah lelah bukan kepalang menghadapi Juna yang entah kapan kedewasaan akan datang menyinari hati gelapnya. Menumbuhkan empatinya kepada wanita. Hingga Roti memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya di luar kota besok pagi. Barang bawaan pun telah ia siapkan dalam tas koper sedang berwarna kuning di sampingnya itu.

Sebuah kejanggalan sedikit tersiur di kepalaku. Tak biasanya kepalaku seperti penat, aku merasa pusing yang mengikat hingga membuat kelopak mataku terasa menghimpit dan mengaburkan pandanganku. Sepertinya aku tertidur beberapa saat karenanya. Namun, rasanya aku tergeletak di atas ranjang dengan kain halus yang begitu asing bagiku, juga selimut tebal yang menimpa hingga setengah tubuhku. Pandanganku masih kabur, ruangan itu tampak remang-remang karena tersisa satu lampu kecil berwarna kuning di sudut ruangan. Perlahan kurasakan dengus hangat di sisi kananku. Mataku belum mampu menangkap wujud itu. Nafas halus itu datang berangsur-angsur seakan menggelitik telinga dan leherku.

Seketika kesadaranku sedikit terbit, saat kusadari tatanan rak kayu di hadapan tempat tidur begitu mempesona, dan jelas bukan di rumahku. Terpasang televisi berukuran tujuh puluh inchi di atas rak dengan beberapa guci dan bunga hias yang disusun berderet itu. Udara di kamar ini begitu dingin atas semburan AC dari atas jendela. Aku menghirup sedikit lebih dalam udara yang beraroma ini. Seperti aroma bunga Jasmine. Sedangkan di rumah, istriku lebih suka dengan aroma Vanilla. Intinya, dimana aku sekarang?

Aku teringat nafas yang sempat menghangatkan telingaku. Namun tebalnya selimut itu, membuatku tak bisa mendapati sosok tersebut karena sebagian wajahnya tenggelam ke dalamnya. Kini aku mulai menerka-nerka. Istriku tak mungkin membawaku menginap di hotel mewah seperti ini tanpa tujuan, terlebih di luar tanggal merah. Ia akan memilih untuk membeli parfum atau peralatan dapur yang lebih modern. Atau pakaian-pakaian hingga suatu saat akan menjadi gunungan kain yang bernasib sia-sia. 

Perlahan, aku menyentuh lekukan yang sedikit membentuk kepala itu, dan aku tahu ia sedang tertidur miring menghadapku. Aku begitu ingin menyibak selimut itu dari wajahnya. Mana mungkin seseorang mampu memboyong tubuhku yang seberat delapan puluh dua kilo sendirian tanpa bantuan. Itu hal pertama yang membuatku penasaran. Tapi, sepertinya aku belum siap membukanya. Aku sendiri masih berusaha mengingat-ingat hal terakhir yang terjadi. Namun nyatanya aku tak pernah mengalami hal-hal aneh terlebih tragis, hidupku datar-datar saja bahkan orang lain akan bosan jika menjadi aku. Sempat terbesit pula jika seseorang menculikku, membawaku tidur di hotel semewah ini?

Aku baru saja menatap jam dinding, menghitung berapa lama kira-kira aku terlelap. Terakhir tiga jam lalu aku melihat handphone masih pukul delapan malam saat bersama Roti. Sekarang hampir setengah dua belas. Handphone? Dimana handphoneku? Kedua lenganku seketika menyusur saku celana jeans dan aku tak menemukannya. Tanpa sengaja, aku melihat sebuah handphone yang sedang menyala di meja sisi kiriku. Dan aku mendekatinya. Handphone Roti, sedang menampilkan kiriman foto wajahku saat tidur di tempat ini kepada Juna. Namun Juna hanya membaca, tanpa membalasnya. 

Seketika tubuhku bergetar hebat, jantungku layaknya bom yang siap meledak beberapa detik kemudian. Darahku membeku, dinginnya menembus semua lapisan kulit hingga keringat dingin meluap di sekujur tubuh. Aku tak sanggup mengalami keadaan seperti ini. Aku hanya tak siap. Istriku, bagaimana jika ia tahu jikalau malam ini aku tak pulang karena tidur dengan seorang wanita. Aku tak pernah neka-neka. Kini perlahan aku membuka selimut yang menutupi wajahnya itu. Roti! Ia tertidur dan sesekali seperti tersenyum tipis. Entah apa yang diperbuatnya hingga membawaku ke dalam sini. Aku sama sekali tak menyadari apa pun kecuali pembicaraan sore tadi. 

Mataku kembali kepada handphone. Juna masih tak membalasnya. Sekarang aku melihat pukul berapa gambar itu ia kirimkan. Ternyata dua jam yang lalu. Lalu, apa yang semestinya kuperbuat sekarang? Kepalaku masih berat. Aku tak ingin membuat Roti terbangun. Aku hanya ingin kabur sebelum ia bangun. Aku sudah tak menginginkan percakapan tentang apapun. Hingga dengan sangat berhati-hati, kedua tanganku menyibak selimut itu dari tubuhku dan bangkit menuju pintu. Sayang sekali, pintu telah dikunci dan aku tak mengerti dimana kunci itu disimpan. Mungkinkah jika Roti membuangnya? Sekarang, langkahku yang sedikit berjinjit mengarah kepada jendela di sisi belakang Roti. Dan aku begitu menyayangkan design bangunan hotel ini. Mengapa tak ada balkon dengan kolam renang di bawahnya? Hanya dua buah jendela kaca besar yang sama sekali tak bisa dibuka lebar, hanya sejengkal.

Tak lama kemudian, setelah aku hampir menggebrak kaca itu karena kekesalanku, aku mendengar sedikit gerakan Roti yang membuatku membalik badan. Namun ia tak merubah arah tidurnya. Dengan perlahan, aku kembali ke atas ranjang itu untuk berpikir lebih jernih dan berusaha mengalahkan rasa sakit kepala ini sesegera mungkin. Aku benar-benar tak ingin membuatnya terbangun. Jikalau itu yang terjadi, giliranku lah yang akan berpura-pura untuk tertidur. Hanya itu rencana terbaik yang aku miliki sekarang. Hati kecilku membisik hal tentang prasangka terburuk yang mungkin ada: ia merencanakan sesuatu yang tidak semestinya. Aku tahu hatinya sedang benar-benar sakit, yang mungkin kini telah menggapai jiwanya.

Kemudian saat aku kembali menenggelamkan tubuh ke dalam selimut, terdengar sebuah ketukan dari balik pintu. Sekarang pukul dua belas kurang sepuluh menit, dan aku percaya tak ada crew hotel yang akan mengetuk pintu tanpa alasan. Bukan mereka. Dan sekali lagi pintu diketuk dengan dua ketukan. Aku membenci situasi ini, karena tiba-tiba Roti tersadar dan sedikit membuka mata sayunya. Aku hanya melirik tipis dari ekor mataku yang terpejam paksa. Dan pintu diketuk kembali beberapa kali, saat aku tanpa sengaja membuka mata menatap langit-langit mencoba menyelaraskan degup jantung yang mulai tak beraturan. Roti menatapku lemah, namun kusadari dari ekor mataku senyum di ujung bibir merahnya merekah. Aku masih terbujur kaku, berlagak seakan tak tahu-menahu.

Pintu mulai diketuk sembarangan, layaknya seseorang yang terkunci dari luar rumah pribadinya. Darahku seperti berpacu lebih kencang. Perlahan mataku melolok pada Roti. Matanya terpejam, seperti menyembunyikan kesadarannya dariku, karena aku masih melihat sisa senyuman yang terlihat sinis bagiku. Dan seketika ia menggigit bibir bagian bawahnya, seperti menahan rasa sakit. Kemudian lagi, masih seperti itu, dan semakin kuat gigitan yang diperbuat. Matanya yang terpejam turut menyipit hingga kedua alisnya nyaris berhimpitan. Kulit pipinya yang halus semakin berkerut layaknya sedang memanggul beban yang teramat berat. Begitu pula semua itu berlarut-larut dan semakin menjadi-jadi. Aku hanya mampu merasakan udara yang keluar dan masuk melalui lubang hidungku. Aku tak lagi punya daya, keberanian, kewarasan, atau apa pun itu sejak timbul cairan kental berwarna merah yang nyembul dan melebar pada selimut di atas tubuh Roti. Kemerahan itu kian melebar, meluas dengan cepatnya seiring ketukan pintu yang semakin membabi-buta. Detik itu juga, aku hanya berharap Tuhan mengambil nyawaku sebelum seseorang masuk. 

Deru nafasku tersengal, sepertinya malaikat maut telah datang menghampiriku. Terdengar beberapa orang berbicara di balik pintu dengan nada tinggi, dibarengi ocehan beberapa orang lain yang menyahuti. Tak lama keributan antar ocehan itu terjadi. Sementara, wajah Roti kian menunjukkan siksa dunia yang tak akan terobati, hingga ia merintih dan air matanya telah pecah membanjiri wajah yang berangsur pucat pasi.

Suara-suara di balik pintu mereda, sepertinya mereka membawa pergi seorang yang berusaha mengganggu privasi kami. Aku memberanikan diri menyibak selimut itu dengan kasar dari tubuhnya. Darah terburai ke seluruh tempat tidur. Sebilah pisau telah merobek perut Roti dan menancap begitu dalamnya. Mungkin inilah hal pertama sebagai pertanda jika jalan hidupku mulai berkelok-kelok. Beberapa saat kemudian, aku menatap wajahnya. Sisa kesadaran yang ia miliki perlahan sirna. Hingga ia kembali tertidur pulas seperti sebelumnya. Meski di hadapanku, kedua matanya menyalak tak terarah. Tak menyerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun