Mohon tunggu...
Nicko Kharisma Gunawan
Nicko Kharisma Gunawan Mohon Tunggu... Penerjemah - -

Membaca itu seperti menyaksikan kisah dalam setiap dunia yang berputar, melainkan menulis adalah bagian teristimewa dari setiap dunia itu diciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jebakan Termanis

20 Maret 2023   15:54 Diperbarui: 20 Maret 2023   16:04 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mataku kembali kepada handphone. Juna masih tak membalasnya. Sekarang aku melihat pukul berapa gambar itu ia kirimkan. Ternyata dua jam yang lalu. Lalu, apa yang semestinya kuperbuat sekarang? Kepalaku masih berat. Aku tak ingin membuat Roti terbangun. Aku hanya ingin kabur sebelum ia bangun. Aku sudah tak menginginkan percakapan tentang apapun. Hingga dengan sangat berhati-hati, kedua tanganku menyibak selimut itu dari tubuhku dan bangkit menuju pintu. Sayang sekali, pintu telah dikunci dan aku tak mengerti dimana kunci itu disimpan. Mungkinkah jika Roti membuangnya? Sekarang, langkahku yang sedikit berjinjit mengarah kepada jendela di sisi belakang Roti. Dan aku begitu menyayangkan design bangunan hotel ini. Mengapa tak ada balkon dengan kolam renang di bawahnya? Hanya dua buah jendela kaca besar yang sama sekali tak bisa dibuka lebar, hanya sejengkal.

Tak lama kemudian, setelah aku hampir menggebrak kaca itu karena kekesalanku, aku mendengar sedikit gerakan Roti yang membuatku membalik badan. Namun ia tak merubah arah tidurnya. Dengan perlahan, aku kembali ke atas ranjang itu untuk berpikir lebih jernih dan berusaha mengalahkan rasa sakit kepala ini sesegera mungkin. Aku benar-benar tak ingin membuatnya terbangun. Jikalau itu yang terjadi, giliranku lah yang akan berpura-pura untuk tertidur. Hanya itu rencana terbaik yang aku miliki sekarang. Hati kecilku membisik hal tentang prasangka terburuk yang mungkin ada: ia merencanakan sesuatu yang tidak semestinya. Aku tahu hatinya sedang benar-benar sakit, yang mungkin kini telah menggapai jiwanya.

Kemudian saat aku kembali menenggelamkan tubuh ke dalam selimut, terdengar sebuah ketukan dari balik pintu. Sekarang pukul dua belas kurang sepuluh menit, dan aku percaya tak ada crew hotel yang akan mengetuk pintu tanpa alasan. Bukan mereka. Dan sekali lagi pintu diketuk dengan dua ketukan. Aku membenci situasi ini, karena tiba-tiba Roti tersadar dan sedikit membuka mata sayunya. Aku hanya melirik tipis dari ekor mataku yang terpejam paksa. Dan pintu diketuk kembali beberapa kali, saat aku tanpa sengaja membuka mata menatap langit-langit mencoba menyelaraskan degup jantung yang mulai tak beraturan. Roti menatapku lemah, namun kusadari dari ekor mataku senyum di ujung bibir merahnya merekah. Aku masih terbujur kaku, berlagak seakan tak tahu-menahu.

Pintu mulai diketuk sembarangan, layaknya seseorang yang terkunci dari luar rumah pribadinya. Darahku seperti berpacu lebih kencang. Perlahan mataku melolok pada Roti. Matanya terpejam, seperti menyembunyikan kesadarannya dariku, karena aku masih melihat sisa senyuman yang terlihat sinis bagiku. Dan seketika ia menggigit bibir bagian bawahnya, seperti menahan rasa sakit. Kemudian lagi, masih seperti itu, dan semakin kuat gigitan yang diperbuat. Matanya yang terpejam turut menyipit hingga kedua alisnya nyaris berhimpitan. Kulit pipinya yang halus semakin berkerut layaknya sedang memanggul beban yang teramat berat. Begitu pula semua itu berlarut-larut dan semakin menjadi-jadi. Aku hanya mampu merasakan udara yang keluar dan masuk melalui lubang hidungku. Aku tak lagi punya daya, keberanian, kewarasan, atau apa pun itu sejak timbul cairan kental berwarna merah yang nyembul dan melebar pada selimut di atas tubuh Roti. Kemerahan itu kian melebar, meluas dengan cepatnya seiring ketukan pintu yang semakin membabi-buta. Detik itu juga, aku hanya berharap Tuhan mengambil nyawaku sebelum seseorang masuk. 

Deru nafasku tersengal, sepertinya malaikat maut telah datang menghampiriku. Terdengar beberapa orang berbicara di balik pintu dengan nada tinggi, dibarengi ocehan beberapa orang lain yang menyahuti. Tak lama keributan antar ocehan itu terjadi. Sementara, wajah Roti kian menunjukkan siksa dunia yang tak akan terobati, hingga ia merintih dan air matanya telah pecah membanjiri wajah yang berangsur pucat pasi.

Suara-suara di balik pintu mereda, sepertinya mereka membawa pergi seorang yang berusaha mengganggu privasi kami. Aku memberanikan diri menyibak selimut itu dengan kasar dari tubuhnya. Darah terburai ke seluruh tempat tidur. Sebilah pisau telah merobek perut Roti dan menancap begitu dalamnya. Mungkin inilah hal pertama sebagai pertanda jika jalan hidupku mulai berkelok-kelok. Beberapa saat kemudian, aku menatap wajahnya. Sisa kesadaran yang ia miliki perlahan sirna. Hingga ia kembali tertidur pulas seperti sebelumnya. Meski di hadapanku, kedua matanya menyalak tak terarah. Tak menyerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun