"Pesan? Pesan apa maksudnya?" Kataku dengan beribu tanda tanya di kepala.
"Ini resto, sekaligus penginapan".
Aku hanya terpaku mendengarnya. Kalimat sederhana itu tak mampu dicerna akal sehatku. Pertama, dari mana pria ini berasal. Dan kedua, bagaimana sejarahnya di tempat seperti ini disewakan penginapan sekaligus restoran sebagus ini. Siapa yang akan berkunjung? Sementara hanya ada beberapa buah rumah di kampung itu, dan semuanya terbuat dari kayu. Tak ada tempat wisata, pabrik, terlebih kampus atau gedung perkantoran. Sementara, aku hanya berkunjung untuk keperluan pekerjaan. Mensurvei ke beberapa sekolah untuk segala hal yang mestinya dipenuhi oleh negara.
Pria itu kemudian meringis, melihat wajahku yang dipenuhi kebingungan. Sejujurnya, hatiku merasa bergejolak sejak pria itu muncul. Entah, aku merasa takut atau hanya sekedar was-was saja. Mataku mengelilingi sekitar, masih tak ada yang aneh atau berubah seperti yang sering kulihat dalam film bertema supranatural. Aku tak ingin berlama-lama membuatnya menunggu. Aku lebih tak tahan melihat senyuman itu yang baru kali ini terpampang di depan mataku. Senyuman yang aneh dan getir, yang mungkin tak dimiliki sekian ratus orang yang kukenal dalam perjalanan hidupku.
Tanpa mengangguk, dalam diam ia memandangku mendengar apa yang aku pesankan. "Kopi hitam", kataku. Darahku berdesir lebih cepat, urat-urat dalam tubuh sepertinya mengencang tak beraturan. Pria itu masih berdiri di depanku dan memandangku. Entah, aku tak kuasa melihat tatapannya, kupalingkan mataku kembali ke arah kolam. Dan tak lama, pria tersebut berlalu dalam sekejapan mata.
Kulit lenganku seketika mendera dingin, saat terdengar lagi langkah yang ganjil itu dari kejauhan. Pria itu telah berdiri di belakangku saat aku menduduki kursi kayu. Aku menoleh, dibawakannya kopi hitam dalam cangkir bertuliskan "Riviera Las Vegas". Aku hendak menanyakan padanya, siapa yang baru pulang dari Amerika. Namun, sesaat setelah aku menerima cangkir tersebut dan meletakkannya di meja, pria tersebut sudah tidak lagi berdiri di sana. Entah, aku tak sempat melihatnya sejak kopi itu disajikannya. Pun aku juga tak mendengar tapak kakinya, seakan terbang saja menyatu dengan angin.
Bodoh saja jika aku tenggelam dalam imajinasi itu. Kupandangi sejenak kopi hitam dalam cangkir itu. Tampak pekat, dan membuat air liur dalam mulutku sedikit menggenang. Aku suka sekali kopi hitam, ayahku pula yang membuatku demikian. Satu-dua tegukan kopi hangat itu mengalir dalam kerongkongan begitu nikmatnya. Namun, ditengah kenikmatan itu, mata kananku terusik sesuatu yang bergerak-gerak alangkah cepatnya. Ekor mataku menggambarkannya jika pergerakan itu berasal dari jendela kaca rumah. Dengan cepat aku menoleh ke arah kanan. Tak terlihat lagi hal yang semestinya terjadi. Sesaat aku masih memandangi jendela yang berlapis debu itu. Tak ada yang aneh, namun perlahan kulihat layaknya lalu-lalang seorang manusia dari dalam sana. Samar-samar, terlihat sebuah bayangan seperti berusaha menggapai jendela kaca tersebut. Di saat itu juga, dengan cepat wajah pria itu muncul dari dalam sana sembari meringis seperti halnya yang kulihat tadi. Spontan aku membuang pandangan. Aku masih tak tahu hingga sekarang, apakah aku takut atau khawatir kali ini.
"Yakin Mas, sudah selesai?"
"Iya, sudah beres semuanya Mas Bakir. Minggu depan tinggal laporan saja".
"Tadi mbah nyari Mas. Saya lihat di sekitaran juga ndak ada. Kemana to, pikir saya. Sekarang malah mbah yang ilang".
"Oh, tadi penasaran saja sama rumah di seberang Mas. Jadi sempat masuk sampai teras belakang. Indah ya pemandangannya, rumahnya juga luar biasa".