Mohon tunggu...
Nicko Kharisma Gunawan
Nicko Kharisma Gunawan Mohon Tunggu... Penerjemah - -

Membaca itu seperti menyaksikan kisah dalam setiap dunia yang berputar, melainkan menulis adalah bagian teristimewa dari setiap dunia itu diciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Musirot Wanadhirot

15 Februari 2023   18:53 Diperbarui: 15 Februari 2023   19:02 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar nemplok di lapang kersang, meski pagi masih murung diburu awan keruh. Rintik hujan lamat-lamat beralih, tak peduli, mungkin langit terlalu lelah merintih. Namun dengan lantang hewan-hewan bercengkrama, bersahutan rengek anak mereka meminta makan. Sama halnya dengan Musirot, sedari kemarin perut kembungnya belum tersuap nasi. Kepalanya limbung, kulit disergap dingin, bercampur-aduk rasa memar sekujur tubuh yang menyerbu. Siapa peduli. Alih-alih disodori sesuap nasi, mulut Musirot malah dijejali tungkai kaki. Tak ada perlawanan yang dikehendaki, kedua kakinya tak mampu lagi menopang diri.

Kini Musirot berada di sebuah ruang gelap seluas satu meter. Amat sempit, lembab, begitu pengap. Untuk bernafas pun dia kewalahan, sesak menerpa dadanya yang terlanjur bonyok babak-bundas. Pintu besi telah terkunci, seperti pikirannya yang tak mampu lagi berlari hendak kabur kemana lagi. Hanya tersedia lubang sejengkal di pintu itu untuk celah keluar masuk makanan seperlunya, yang ditumpahkan sesempatnya.

Sesekali seorang, terkadang dua orang menggedor atau menendang pintu besi. Dilanjutkan gemericik rangkaian kunci yang berkelahi dengan gembok yang tertancap kuat, saat pintu berusaha dibuka. Kehadiran mereka, disambut igau Musirot yang tengah menyandar bersila karena selonjoran pun tak muat. Mana peduli sadar atau tidak, mereka menyeret Musirot keluar menuju ruangan lain yang tampak lebih layak huni. Namun mungkin tak layak huni, karena Musirot sedang dihadapkan pada seorang ketua pasukan yang begitu diagungkan. Pasukan bernamakan Deskor, aparat penegak hukum negeri ini. Pertanyaan telah dilayangkan entah berapa banyak jumlahnya, dan betapa ngawur jawaban yang dilantunkan bibir Musirot. Di ruangan itu pula para pasukan penjaga turut mengeroyok tubuh Musirot. Menendang, meninju, juga membanting badan yang kini telah kering-kerontang bak mayat hidup itu.

Musirot tak juga mempelajari, atau setidaknya mengingat apa yang telah diucapkannya beberapa kali tatkala masuk dalam ruangan itu telah membuat tubuhnya hancur lebam. Dia dianggap mempermainkan pimpinan Deskor dengan jawaban yang arti dan tujuannya mengembara entah kemana. Sama sekali tidak nyambung. Musirot dituding berpura-pura gila, pun ada yang menuduh sengaja ingin mengacaukan laporan yang tengah disusun untuk diberitakan kepada orang-orang di luar sana, tentang perbuatan keji yang dilakukan Musirot.

Musirot sama sekali tak mempercayai edaran berita, lebih-lebih yang menyangkut nama Deskor yang sedang dihadapi. Semua berita yang disebar tak lebih baik dari dusta, mungkin lebih buruk. Dia memilih mati ketimbang menyuarakan rentetan kejadian yang dialaminya seminggu lalu, menghindarkan pemutar-balikan fakta tersebar ke seluruh negeri.

Sebenarnya, hari ini Musirot tak perlu menjadi seonggok daging lusuh yang hampir busuk dalam kurungan bata berjeruji itu. Tapi aku, cukup aku saja. Karena semua ini tentang keluargaku. Entah, firasatku mengatakan jika dia hanya melakukan apa yang harus dilakukan, hanya saja terlalu berani dan kebablasan.

Musirot Wanadhirot. Sejak kecil adalah teman satu-satunya yang kumiliki. Berbeda dengan yang lain, mereka enggan berteman denganku, karena keadaanku yang berbeda. Mata kiri picek, betapa tebalnya selaput putih yang menyelimuti. Ditambah lengan kananku yang pengkor, bak boneka jelangkung yang begitu ditakuti. Dengan begitu, mereka hanya menganggapku seekor makhluk janggal yang bergelagat layaknya seorang manusia normal, hingga aku tak pernah dianggapnya sama.

Bertahun-tahun lalu, aku menanti kabar Musirot yang tak kunjung menuai jawaban. Kemana perginya anak ini? Telah lama hilang seperti ditelan ganasnya lautan. Tak seperti banyaknya kabar yang kerap dilayangkan televisi sebelumnya. Musirot sering diberitakan sebab puluhan tindak kejahatan telah dia amalkan. Perihal pembunuhan, transaksi obat-obatan, hingga penggelapan dana telah tamat aku saksikan. Namun, televisi hanya menyiarkan berita soal kejadian-kejadian seolah tanggung jawab Deskor selalu dipenuhi. Tak ada yang menyangka, mulut warga desa kami lebih absah kebenarannya. Nyatanya, Musirot memang tak pernah sekalipun dijebloskan dalam penjara akibat semua perbuatannya. Tak perlu dianggap luar biasa. Ayah Musirot pejabat tinggi negeri ini.

Kemudian dalam sekejap, pikiranku menyusur cerita yang lebih jauh ke belakang dalam memoriku. Bahwa, Musirot pernah mengutarakan kekecewaannya terhadap sang ayah. Sebuah tunjuk paksa untuk menjadikannya penerus sosok berpengaruh bangsa. Mungkin terlalu muda, atau memang tak harap bisa, meski berbagai mantra telah disemburkan padanya. Hampir Musirot ditembak sang ayah, nyaris pula dikubur hidup-hidup penuh nista. Hingga akhirnya, Musirot pergi dari rumah, tenggelam dalam jurang amarah remajanya yang gelap. Perilakunya kemudian jauh menyimpang, menjadi bulan-bulanan Deskor yang selalu mengintai. Semua dilakukan Musirot serta-merta untuk menghancurkan nama baik sang ayah, jika perlu sampai lengser pula. Namun, selalu berakhir sia-sia. Sang ayah tak pernah lewat menabur bunga pada para Deskor yang serakah untuk menghentikan segala perkara.

Pertemuan terakhir kami adalah saat sekolah menengah atas. Kami berdua putus sekolah, aku tak mampu membayar, Musirot minggat tak berkabar. Yang aku ingat hanyalah wujud ketulusan hati, hati yang buta akan istilah pandang bulu. Kala itu, sebagai anak seorang yang terpandang, Musirot tak pernah membatasi diri, meski jelas kenyataan yang tergambar pada nasib kami. Dia kerap bermain di rumahku, menemui orang tuaku, mengobrol layaknya seorang jelata. Hampir setiap hari dia membawa makanan untuk kami yang kelaparan. 

Tak hanya perkara perut, Musirot telah berkali-kali meminta uang sekolah lebih. Lebih-lebih dari jumlah yang biasa diterimanya. Entah alasan apa yang dikarangnya kala itu, aku tak berani bertanya. Uang tersebut, selalu dia selipkan dalam lubang-lubang tas sekolahku yang terus menganga sepanjang hari. Sampai di rumah, aku baru menyadari. Uang tersebut dilipatnya dalam selembar kertas, bertuliskan "tambahan uang sekolah", terkadang "untuk berobat ibu". Dengan gagap aku ceritakan pada ibu, membuat pipinya selalu diguyur air mata yang tak mampu dibendungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun