Mohon tunggu...
Nicko Kharisma Gunawan
Nicko Kharisma Gunawan Mohon Tunggu... Penerjemah - -

Membaca itu seperti menyaksikan kisah dalam setiap dunia yang berputar, melainkan menulis adalah bagian teristimewa dari setiap dunia itu diciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seperti Tiada Arti

26 Januari 2023   19:57 Diperbarui: 26 Januari 2023   19:58 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru kemudian wanita itu bangkit dari kursi kayu. Melewatkan lembaran uang kertas di atas meja yang semula mengapit di antara jemari. Ia mempersilahkanku masuk dan terburu mengelap meja yang kukehendaki.

"Sendiran saja?", tanyanya.

"Iya, sendiri. Ingin mampir saja", kataku sembari tak mampu menahan pandangan yang kerap meliputi tiap sudut warung bambu itu.

"Dari kota, ya?" Tanya si ibu yang ramah tersebut, senyum merekahnya tak kunjung surut sedari aku datang tadi.

"Tidak, di kota hanya mengajar, Bu", kataku sambil memandang keluar jendela.

Keadaan tak banyak berubah, alam sekitar masih sama. Pepohonan tumbuh rindang, tanaman singkong, pepaya, dan pisang di kebun, juga beberapa taman sederhana hasil kerjaku dengan teman-teman masih tampak subur. Tak hanya itu, lapangan hijau yang membentang di seberang sana, dimana aku dan teman-teman menggelar acara tujuh belasan lima tahun lalu sepertinya masih digunakan, entah sepak bola atau voli, atau mungkin kegiatan lain, terlihat setengah darinya telah terjal dengan permukaan yang terdapat gundukan-gundukan. Hingga kini, perasaanku seakaan kembali ke masa itu, saat melakoni program KKN di semester enam perkuliahan.

Banyak yang kami lakukan kala itu untuk membantu warga desa. Tapi jujur saja, mengenai program kkn itu, awalnya aku tidak terlalu antusias. Mungkin karena asalku pun dari desa. Hampir semua rentetan kegiatan itu sudah lazim bagiku. Tak ada yang baru lebih-lebih menarik. Aku juga tidak tahu apa yang belum pernah warga desa lakukan. Mungkin memang aku tidak perlu memikirkannya, karena aku lebih sibuk mengamati seseorang secara diam-diam.

Seorang gadis dari jurusan Bahasa Indonesia, yang menurutku begitu saja menghipnotis pikiran karena keelokannya. Membuatku melupakan kedatangan kami untuk bergotong-royong membangun desa. Aku lebih berminat mengawasinya ketimbang siswa SD yang sedang belajar di kelas. Dengan ringan hati aku membawakan apa saja untuknya ketimbang membantu kerja bakti. Dan aku lebih sering mengumbar perhatian padanya dari pada mengurus kelompok mempersiapkan acara. Intinya, semua kegiatan yang aku ceritakan tadi tak semuanya benar. Tapi aku benar-benar menginginkannya.

Septi Andriani nama panjangnya. Bisa dibilang, dia salah seorang dari divisi pendidikan yang paling aktif di antara para anggotanya, juga yang paling bersinar di antara lima belas gadis rombongan kami. Tubuhnya langsing namun tidak terlalu tinggi. Kulit putih dengan bulu-bulu halus melingkar di kedua lengan. Dan yang paling membuatnya lebih menggemaskan adalah wajah oval dengan bibir mungil yang terukir menawan, manis sekali. Seringkali dia dibonceng sana-sini oleh para pejantan rombongan kami, saling berebut satu sama lain mengantarkannya ke seluruh penjuru mata angin, kemana dia hendak pergi bertugas. Dia hanya tersenyum malu menanggapi semua itu, mengingat masing-masing di antara kami baru saling mengenal beberapa minggu. Ekspresi lugu khas kembang desa, meski aku tak tahu pula asal-usul nya.

Aku membuka kacamata hitam yang menggantung di wajahku. "Mungkin ibu masih ingat saya", kataku lirih, bersiap menanggung malu jika sampai si ibu menjawab tidak.

"Nak Tomo?" Katanya sesaat setelah mendalami penglihatan. Senyum khas si ibu kembali mengembang, dengan mata yang terbenam oleh kedua pipi, juga beberapa lekukan di area pelipis. Aku mengangguk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun