Mohon tunggu...
Nicko Kharisma Gunawan
Nicko Kharisma Gunawan Mohon Tunggu... Penerjemah - -

Membaca itu seperti menyaksikan kisah dalam setiap dunia yang berputar, melainkan menulis adalah bagian teristimewa dari setiap dunia itu diciptakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kurnia - Karunia Tuhan

9 Januari 2023   15:54 Diperbarui: 9 Januari 2023   15:59 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Asri pulang dengan terseduh, deru nafasnya tersengal karena derasnya kesedihan yang mengalir di hatinya. Malam itu, Asri menyeret Kurnia yang tengah bermain di taman dekat air mancur komplek kami. Sejumlah anak mengolok-olok Kurnia, meski ia tidak mengerti sepenuhnya. Namun, satu hal mengejutkan benar-benar telah menghancurkan jiwaku. Kurnia menikam satu di antara beberapa anak tersebut dengan pisau dapur yang sering dilihatnya bergelut lincah di tangan Asri saat memotong daging. Kami tidak mengerti berapa tusukan yang Kurnia hunuskan di dada anak itu, karena berbicara dengan Kurnia sama halnya dengan mencari-cari jawaban sendiri. Tak ada kata yang jelas terucap darinya, melainkan senyum tipis juga dengung tidak beraturan.

Asri melempar pisau itu ke arah got yang masih mengalir. Tak ada lagi yang bisa diperbuatnya. Bayangkan saja, Asri menderita trauma akan cibiran orang setempat tentang Kurnia ditambah tragedi yang baru saja terjadi yang juga dilakukan anak itu. 

Malam itu juga, komplek apartment kami dikerubungi massa. Korban masih terbujur kaku dengan tubuh bergetar hebat memuntahkan darah segar dari rongga dada yang terburai luka, seakan melawan datangnya ajal. Beberapa anak lainnya telah meninggalkannya, jelas karena mereka diguyur ketakutan yang hebat. Di kala aku sedang menonton televisi, angin dingin berdesir di sekujur tubuhku, melihat Asri tak lagi menangis berlinang air mata, namun darah. Darah segar dari telapak Kurnia yang berdecak di pipinya. Kurnia masuk tanpa ekspresi, yang justru membuat amarahku semakin bringas terhadapnya, meski Asri belum menceritakannya. Tatapan mata kosong itu membuatku muak, karena di usianya yang ke 15 saat itu tak sedikitpun harapan Asri dijawab Tuhan, tentang Kurnia akan menjadi insan yang sempurna. Sejak detik ini, aku menyangsikan keberadaan Tuhan. Kehidupan kami tak membaik seiring kelahiran anak ini. Semua masih baik-baik saja, saat masa-masa indah kami ukir berdua saja.

Para penghuni apartment berdatangan menapaki lantai 10 dimana kami tinggal. Pintu digedor hebat hingga menggetarkan cermin dan beberapa perabot di dekatnya. Aku terperanjat, namun Asri dan Kurnia masih berdiri kaku di depan pintu. Aku tak langsung menjawab serbuan itu. Aku hanya berpikir jika ini adalah hari terakhirku merasakan dunia. Dan benar saja, mereka menerobos masuk karena pintu telah didobrak dua orang aparat. Setan mana lagi yang mengusik, pikirku. Entahlah, aku hanya berpasrah dengan segala peristiwa yang tak satu kata pun aku dengar dari keluargaku. 

Dua aparat itu membawaku dan Asri, sedangkan Kurnia dijaga oleh anggota yang lain. Aku tidak mampu sedikitpun menjelaskan, namun Asri hanya bertatap kosong layaknya seorang yang telah hilang akal. Namun aku tahu betul siapa Asri, ia tak ingin darah dagingnya itu disinggung, terlebih setelah berbagai cibiran telah menyayat hati kecilnya. Dengan begitu, aku lah yang bersikeras melawan yang membuatku tersudut dan berujung menyerahkan diri setelah segala laporan disiarkan tepat di depanku. Hal yang dilakukan Kurnia, yang siapa pun tak mengerti isi hati makhluk istimewa ini.

Aku dituntut dan dijatuhi pasal berunsur kelalaian yang merugikan orang lain. Apa yang telah aku pikirkan sebelumnya telah absah kebenarannya, pasrah pada scenario Tuhan, juga menyerah pada kehidupan. Dan itulah yang terjadi sekarang. Lima tahun penjara bagiku tak akan menggapai jera, namun setidaknya kehidupan di luar sana tak lagi membuatku merasakan penderitaan yang terus mendera.

Tiga tahun setelahnya, selama itu, Asri selalu datang melihatku. Meminta maaf dengan beribu tetes air mata dengan selipan cerita tentang perkembangan hidup Kurnia, meski aku tak sedikitpun tertarik mendengarnya. Kunjungan selanjutnya, sepertinya Asri benar-benar ingin membuktikan bahwa perkataannya kala itu benar. Dia mengirim Kurnia ke dalam lapas untuk menjengukku.

Aku menyahut lembar di depanku itu. Tulisan latin yang sama sekali telah lama tergambar di kepalaku. Sedikit menceritakan, jika Kurnia membantu istriku bekerja namun di tempat yang berbeda. Asri kembali ke dapur restaurant, Kurnia diterima badan pengelola anak berkebutuhan khusus yang juga di bidang kuliner, tepatnya sebagai pembantu juru masak. Aku tidak sepenuhnya yakin. Namun, seketika air mataku berjatuhan saat bola mataku menukik pada paragraf terakhir. Mereka berdua, anggota keluargaku, anak dan istriku, telah menyiapkan tabungan mereka untuk menebusku. Ingin sekali membuatku hangat di antara mereka dalam ruangan sederhana kami, karena segalanya telah baik-baik saja. Kuurungkan kalimatku untuk mengusirnya. Kini aku tak mampu berkata. Dalam tentram, aku menatap Kurnia, yang masih balas dengan tatapan separuh kosongnya. Diiringi senyum polos yang merekah tulus tak berdosa.

Malang, Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun