Bibirnya tak sedikitpun berdetak. Anak itu kemudian mengulurkan selembar kertas lusuh, sebab telah disusupkan secara asal dalam kantong celananya. Sedang aku melahap nasi yang ia bawa, beserta lauk dalam dua bungkusan plastik yang aku bedah dengan serakah. Aku tetap melanjutkan makananku, ia bergeming. Kemudian diletakkannya seutas lembar itu di depanku. Aku masih tak ingin menghiraukannya. Pikirku, percuma saja jika aku menanyakan sesuatu padanya.
Tak seperti biasanya, menu yang kunikmati hari itu sama sekali berbeda. Masakan kari, bagian paha ayam tiga buah yang diracik pedas dan berkuah sedikit kental. Menu andalan saat di rumah, terutama saat hari gajianku. Aku tidak pernah telat memesannya kepada Asri istriku, setiap kami berangkat ke pasar bersama pagi-pagi. Aku sangat beruntung jikalau aku adalah pecinta makanan, dan dia adalah mantan kepala dapur sebuah hotel bintang lima di tengah kota. Kami bertemu saat aku tengah makan malam dalam acara rutin perusahaan. Singkatnya, seorang temanku adalah rekan kerja satu dapurnya, yang dengan senang hati memadukan kami untuk sebuah perkenalan. Kemudian, di malam-malam selanjutnya aku kembali mengunjungi restoran itu. Perlahan kami saling mengenal, saling mendekati untuk semakin memahami. Dia selalu membuatku kagum, terutama beragam masakan yang telah beberapa kali ia hidangkan tatkala aku berkunjung ke rumahnya. Dan aku sangat bangga padanya. Tak kalah menariknya bagiku jika dia jatuh cinta dengan aroma manisnya Caipirinha buatanku, cocktail asal Brazil yang aku racik sendiri dengan kedua tanganku saat pertama kali dia singgah di apartment pribadiku. Aku kira, kehidupan kami akan sangat harmonis, saling melengkapi satu sama lain saat kami menikah nanti.
Hubungan kami dikaruniai seorang anak laki-laki. Kurnia. Yang kini telah beranjak remaja, umurnya telah 18 tahun. Aku telah mengidamkan seorang anak lelaki, bahkan sebelum mengenal Asri. Tuhan memang mengetahui segala isi hati, meski perjalanan cinta kami sempat mengalami pasang surut. Pada saat usia pernikahan yang masih belia, aku dan Asri tentu sama-sama mengerti, tidak ada hubungan yang mulus seperti dengkul bidadari. Kami pun paham akan kesalahan masing-masing yang berangsur membuntuti: saling beradu ego. Persaingan tanpa akal sehat pun mewarnai rumah tangga kami. Aku sempat bermain di belakang bersama wanita-wanita lain, tak heran memang sudah lima cabang bar yang aku kelola sampai detik ini. Dia pun tak ingin kalah karena meladeni para mantan yang seringkali berdatangan bersamaan godaan-godaan klasik para bos hotel. Kendati demikian, Tuhan selalu menyatukan kami kembali seakan hati kami telah terikat dan tak mampu dipisahkan.Â
Masakan dan Cocktail. Hal itulah yang kemudian menyatukan kami kembali. Dia kerap meminta maaf dengan memasak masakan favoritku, aku meminta maaf dengan tidak meninggalkan apartment menyuguhkannya Caipirinha untuk menikmati waktu berdua. Tapi, masih saja ada yang kurang bagi kami untuk melengkapi kasih. Tuhan tak pernah tidur, di kala hatiku meronta berucap doa setiap tengah malam tiba. Doa-doa untuk seorang malaikat kecil dalam tempat tinggal kami yang mungil. Sampai Kurnia lahir, aku menyarankannya untuk berhenti bekerja.
Tuhan menjawab doaku, namun tak mengabulkan keinginanku. Kurnia lahir dengan keadaan lemah mental yang hingga kini aku masih masa bodoh dengan istilah medis yang disematkan padanya. Pertumbuhannya lambat dibanding anak seusianya. Aku tidak tahu apa penyebabnya, yang aku paham justru akibatnya. Sedang aku ingin anak laki-laki yang sempurna dan kuat, suatu masa akan tumbuh dengan gagah sebagai juru penyelamat ekonomi di hari tua. Sebab, sampai Kurnia lahir jumlah tabungan kami tak juga bertambah. Sebaliknya, menyusut seperti badan termakan usia. Asri melahirkan di usia 38 tahun. Kala itu, aku 43. Waktu lenyap entah kemana. Kami tergiur untuk mengais rupiah pagi-siang dan malam, hanya untuk kesenangan berdua. Melancong jauh ke berbagai kota hingga luar pulau untuk berburu segala macam hidangan khas masing-masing daerah, yang kemudian resepnya kami diadopsi untuk masakan di rumah. Intinya, liburan dengan biaya yang tidak ala kadarnya. Akhirnya, peluh kerja keras itu menguap saja di udara. Tak bersisa. Tak terasa.
Sejak aku mengetahuinya, hatiku hanya ingin mengutuk setiap detik aliran nafas kami. Akan dibawa kemana nasib ini. Yang tersiur di kepala hanya biaya yang akan melambung lebih, untuk segala perkara obat dan konsultasi dokter. Yang terbingkai di mataku hanya celotehan tetangga yang merembet pula pada mereka para rekan kerja. Suatu hal yang tentunya akan mengusik telinga kami sepanjang masa. Tapi Asri sungguh menyayangi darah dagingnya itu. Tak terbesit setitik pun kekecewaan terlebih amarah akan tabiat kami yang jungkir balik ini. Aku mampu melihatnya dengan mataku, sinar wajahnya bak kekuatan yang akan terus membubuhi harapan kepada si jabang bayi. Mungkin dengan begini, Tuhan ingin menyentil hati kami untuk bersumpah dan menyudahi atas apa yang selalu memecah-belah hubungan kami.
Benar saja, mulut tetangga akan lebih dalam menggores luka pada perasaan jika itu tentang kabar keburukan. Asri pernah menangis pilu dalam dekapku setelah memergoki tiga wanita membicarakan anaknya saat belanja sayuran. Tiga orang itu tinggal dalam komplek apartment yang sama, sebab Asri kenal dengan salah seorang darinya. Asri tidak merutuk karena keadaan anak kami, namun ia hanya tidak terima jika orang lain membicarakannya. Menurutnya, hal itu tidak pantas dilakukan karena si bayi tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi di dunia ini. Namun, aku bisa apa? Aku tidak mungkin mengadili para wanita. Kudapati hanya pikiran kosong belaka. Aku tak melakukan apa-apa, melainkan hatiku tersulut kobar api neraka. Aku tidak mampu melampiaskannya. Entah aku ingin membela Asri, atau menyesali keberadaan si jabang bayi. Karena sesungguhnya, ini bukan jalan yang kukehendaki.
Suatu kali, teman-teman Asri berencana datang ke tempat tinggal kami. Tentunya untuk menengok si bayi. Tapi aku belum siap dengan segala pertanyaan dan kesan yang akan mereka umbar setelah menjenguk Kurnia. Aku hanya tidak ingin banyak basa-basi, terlebih menjelaskan segala yang terjadi pada anak kami juga pada Asri. Aku menolak kedatangan mereka melalui pesan singkat yang dikirim istriku itu, ia tak bisa melawanku karena memang kita telah sepakat untuk tidak lagi saling beradu ego. Dia paham, aku masih tidak bisa menerima seutuhnya keadaan Kurnia. Dengan tabah dan penuh keyakinan, Asri berusaha untuk terus menyadarkanku betapa Tuhan telah menurunkan berkat yang tiada pernah musnah keindahannya. Suatu saat, Kurnia akan tetap menjadi manusia layaknya insan yang sempurna. Ia akan terus berkembang seiring berjalannya waktu, dengan bimbingan dan kesabaran yang ia harapkan datang dari kami berdua sebagai orang tuanya. Aku hanya tertunduk lemah, lelaki sepertiku memang pantas musnah. Dia kemudian beralasan sedemikian rupa, entah apa yang dikatakannya hingga mereka menunda kedatangan.
"Dasar anak monyet!"
"Kamu ngerti gak cara mainnya?! Bodoh sekali"
"Anak haram kamu, ya! Pergi! Pergi! Jangan ganggu kami!"