Rebo…Rebo…Pasar rebo
Kampung rambutan, pak…. Kampung rambutan, bu… (Seorang kernet teriak-teriak memanggil penumpang--red)
Siang menjelang sore, tepatnya pukul 15.00, di depan gedung Menara 165, Jl. TB. Simatupang. Setelah lima menit menunggu, Koantas Bima 509, jurusan Lebak Bulus-Kampung Rambutan akhirnya datang juga. Akupun bergegas naik.
Sambil mengeluarkan uang dari dompet, aku mencari-cari si kernet. Ups,ternyata di sampingku sudah berdiri seorang anak kecil berusia tak lebih dari tujuh tahun. Tangan kirinya memegang uang ribuan dan beberapa puluhan ribu. Sambil menunggu aku mengambil lembaran lima ribuan dari dompet, ia menengadahkan tangan kanannya (menagih ongkos—red).
Oww…ternyata dialah si kernet. Spontan aku mengernyitkan dahi (sebelum benar-benar memberikan uang lima ribuan di tanganku), memastikan apakah dia benar-benar si kernet atau hanya pengamen kecil. Karena di bagian belakang dan depan (dekat pintu) ada tiga anak kecil sedang mengamen.
Akhirnya, setelah tercengung sekian detik, kuberikan ongkos pada kernet kecil itu. Pandanganku pun tak lepas dari tingkah lakunya. Menggunakan sweater warna pink muda yang tampak kotor dan lusuh, celana panjang jeans warna biru, yang bagian belakannya sobek, ia terlihat seperti anak yang tak memperdulikan kesehatan.
Sesekali ia berteriak memanggil calon penumpang. Bolak-balik ke belakang , ke depan sambil menagih ongkos pada para penumpang. Kemudian, ia duduk disalah satu kursi bagian belakang dekat pintu. Tangan mungilnya dengan cekatan menghitung jumlah uang yang ada digengamannya. Separuhnya ia kantongi di saku bagian kiri celana.
Herman namanya. Kudengar itu ketika sang supir berteriak padanya minta dibelikan seputung rokok. “Man…Herman, beliin gue rokok tuh di warung?” Ia pun menuruti perintah si supir. Saat Koantas Bima 509 sedang ngetem itulah, beberapa orang memperhatikan gerak-gerik kernet kecil.
Ya Rabb…satu hari ini, aku melihat beberapa perilaku generasi penerus bangsa yang sungguh membuatku tercengung, terhenyak dan berpikir. Sedih. Miris. Hatiku menjerit. Otakku bak komputer yang terprogram mencari data, kenapa harus seperti itu? Tapi aku hanya bisa diam dan diam, sambil bertanya dalam hati.
Dimana orangtua mereka?
Begitu burukkah kondisi bangsa Indonesia sekarang ini, sehingga anak-anak harus turun ke jalan?
Kenapa mereka tega membiarkan anak kecil harus bekerja keras yang tak sesuai dengan usianya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H