Mohon tunggu...
Nicita Meinanda Yudisti
Nicita Meinanda Yudisti Mohon Tunggu... Insinyur - Environmental Science, Jenderal Soedirman University

Someone who has Urban and Regional Planning background. Now, she is interested to teach herself in improving Environmental Science, Public Policy, and Economics of Development. She loves food for the tummy and food for the brain.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Opini Isu Kebijakan Lingkungan terhadap Persoalan Permukiman Kumuh Perkotaan di Kabupaten Purbalingga

4 Januari 2021   09:09 Diperbarui: 4 Januari 2021   09:28 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut R.E. Soeriaatmadja, dalam merencanakan suatu wilayah syarat akan pengelolaan sumber daya alam. Untuk itu, proses pembangunan harus memperhatikan prinsip-prinsip ekologi. Ilmu lingkungan merupakan ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip ekologi tersebut (applied of ecology). Berikut ini merupakan 14 asas ilmu lingkungan yang harus diperhatikan dalam pembangunan, antara lain:

  • Semua energi yang memasuki sebuah organisme hidup populasi atau ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepaskan. Energi dapat diubah dari suatu bentuk ke bentuk yang lain, tetapi tidak dapat hilang, dihancurkan, atau diciptakan;
  • Tidak ada sistem pengubahan energi yang betul-betul efisien;
  • Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman, semuanya termasuk kategori sumber alam;
  • Untuk semua kategori sumber alam, kalua pengadaannya sudah mencapai optimum, pengaruh unit kenaikannya sering menurun dengan penambahan sumber alam itu sampai ke suatu tingkat maksimum. Melampaui batas maksimum ini tidak akan ada pengaruh yang menguntungkan lagi. Untuk semua kategori sumber alam (kecuali keanekaragaman dan waktu) kenaikan pengadaannya yang melampaui batas maksimum, bahkan akan berpengaruh merusak karena kesan peracunan. Ini adalah asas penjenuhan. Untuk banyak gejala sering berlaku kemungkinan penghancuran yang disebabkan oleh pengadaan sumber alam yang sudah mendekati batas maksimum;
  • Ada dua jenis sumber alam dasar, yaitu sumber alam yang pengadaannya dapat merangsang penggunaan seterusnya, dan yang tak mempunyai daya rangsang penggunaan lebih lanjut;
  • Individu dan spesies yang mempunyai lebih banyak keturunan daripada saingannya, cenderung berhasil mengalahkan saingannya itu;
  • Kemantapan keanekaragaman suatu komunitas lebih tinggi di alam lingkungan yang ‘mudah diramal’;
  • Sebuah habitat dapat jenuh atau tidak oleh keanekaragaman takson, bergantung kepada bagaimana keadaan lingkungan yang khas (nicia) dalam lingkungan hidup itu dapat memisahkan takson tersebut;
  • Keanekaragaman komunitas apa saja sebanding dengan biomassa dibagi produktivitas;
  • Pada lingkungan yang stabil perbandingan antara biomassa dengan produktivitas dalam perjalanan waktu naik mencapai sebuah asimtot;
  • Sistem yang sudah mantap (dewasa) mengeksploitasi sistem yang belum mantap (belum dewasa);
  • Kesempurnaan adaptasi suatu sifat atau tabiat bergantung kepada kepentingan relatifnya di dalam keadaan suatu lingkungan;
  • Lingkungan yang secara spesifik mantap memungkinkan terjadinya penimbunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem yang mantap, yang kemudian dapat menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh lagi;
  • Derajat pola keteraturan turun-naiknya populasi bergantung kepada jumlah keturunan dalam sejarah populasi sebelumnya yang nanti akan mempengaruhi populasi itu.

Asas-asas ilmu lingkungan ini yang kemudian akan sangat penting digunakan oleh penulis dalam memberi opini terhadap fenomena permukiman kumuh. Lebih lanjut, dijelaskan kaitan asas ilmu lingkungan tersebut dengan penerapan hukum lingkungan di lapangan.

Kaitan Asas Ilmu Lingkungan dengan Penerapan Hukum Lingkungan

Hukum lingkungan merupakan hukum yang fungsional, dimana dapat menembus ke semua bidang hukum klasik (pidana, perdata, tata negara/administrasi negara, dagang, internasional, dan adat). Dalam realita di lapangan, masalah lingkungan tidak bisa diselesaikan hanya dengan hukum lingkungan saja, namun juga dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya yang bersifat multidisiplin, lintas disiplin, serta lintas sektoral. Ilmu-ilmu ini dikonstruksikan untuk masuk ke dalam pasal-pasal hukum. Dengan kata lain, norma-norma yang ada di hukum lingkungan mengkristalisasi norma-norma yang ada di disiplin ilmu lain.

Ilmu lingkungan sendiri mempelajari pendekatan-pendekatan multidisiplin ilmu untuk pembangunan berkelanjutan. Pada saat sekarang ini, kerusakan lingkungan masih terjadi meski instrumen pencegahan kerusakan lingkungan hidup telah ditetapkan. Hal ini karena upaya perbaikan lingkungan masih dilakukan secara sektoral. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan yang muncul di lapangan dapat diselesaikan secara preventif/pencegahan secara multidisiplin dan lintas sektoral, salah satu yang paling strategis adalah melalui hukum lingkungan administrasi, yakni dalam bentuk izin lingkungan.

Hukum lingkungan dibagi menjadi 2 jenis, yaitu hukum lingkungan modern yang berorientasi pada lingkungan (environmental oriented law) dan hukum klasik yang berorientasi pada penggunaan (use oriented law). Hukum modern yang berorientasi pada lingkungan lah yang sepantasnya kita pakai dalam pembangunan dan kehidupan sehari-hari.

Problematika Kebijakan Lingkungan pada Isu Permukiman Kumuh Perkotaan

Dalam sistem penyediaan perumahan, lingkungan harus diperjuangkan dari sisi pencegahan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum lingkungan yang bersifat preventif. Hal ini dikarenakan, apabila perumahan dan atau permukiman dibangun tanpa memperhatikan prinsip-prinsip ekologi dan asas ilmu lingkungan, maka pembangunannya akan merusak lingkungan dan akan sangat sulit untuk diatasi secara represif.

Konsep hukum lingkungan yang berperan sebagai umbrella act, dalam hal ini di Indonesia, umbrella act hukum lingkungannya adalah UU 32/2009 PPLH. UU PPLH yang menjadi pedoman peraturan perundang-undangan berfungsi memayungi undang-undang sektoral lainnya. Dalam kaitannya dengan isu permukiman kumuh perkotaan, undang-undang kedua yang sangat penting dijadikan landasan hukum adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU Perkim). Penulis telah mencermati undang-undang sektoral ini, karena arah fenomena permukiman kumuh perkotaan secara teknis diatur dalam UU Perkim tersebut.

Jika dalam ilmu lingkungan terdapat 14 asas yang harus diperhatikan penulis dalam menyusun sistem penyediaan perumahan yang berkelanjutan, ada pula asas-asas fungsi instrumental hukum lingkungan yang juga penting diterapkan dalam peningkatan ketahanan lingkungan sistem perumahan. Asas fungsi instrumental tersebut antara lain:

  • asas penanggulangan pada sumber,
  • asas sarana praktis yang baik,
  • asas cegat-tangkal (stand still principle),
  • asas pencemar membayar (poluter prevention pay),
  • asas diferensiasi regional, serta
  • asas beban pembuktian terbalik.

Namun, jika menelisik penerapan asas-asas tersebut di lapangan yang sudah terjadi sekarang ini adalah kerusakan lingkungan sulit dipulihkan akibat maraknya pembangunan. Contoh konkret yang penulis temui yaitu pembangunan perumahan di kawasan lindung sempadan sungai (riparian zone). Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kebijakan idealnya, kawasan lindung merupakan kawasan yang tidak boleh dibangun sama sekali, melainkan dibiarkan secara natural menjadi area presipitasi (resapan) air sungai. Berikut penulis jelaskan menurut latar belakang mengapa permukiman informal (liar, kumuh) muncul di sempadan sungai.

a) Kelangkaan Lahan Perkotaan

Jumlah penduduk yang bertambah dan laju urbanisasi yang terus meningkat mengakibatkan melonjaknya kebutuhan tempat tinggal penduduk di kawasan perkotaan. Penduduk yang membuka lahan untuk permukiman, sebagian tidak memahami prinsip-prinsip ekologi, sehingga pembangunan berpotensi menganggu ekosistem alami. Ekosistem alami yang kian terganggu menyebabkan ketersediaan lahan kian menyusut, sehingga tidak mampu mendukung kebutuhan tapak pembangunan hunian penduduk di masa depan. Ketersediaan lahan yang mengalami kelangkaan ini telah menyebabkan peningkatan harga beli tanah di pasaran, khususnya di kawasan perkotaan. Penduduk dengan daya beli rendah, khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) serta masyarakat pendatang kesulitan memperoleh hunian yang layak dan terjangkau. MBR mulai membangun hunian secara ilegal pada kawasan lindung perkotaan, seperti riparian zone yang merupakan bagian ekosistem sungai.

b) Dampak pada Lingkungan

Potter dan Evans dalam buku “The City in The Developing Word” tahun 1998 mendefinisikan permukiman liar (squatter or illegal settlement) sebagai suatu kawasan dimana orang-orang bertempat tinggal tanpa adanya izin penggunaan lahan ataupun izin perencanaan. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan pada September 2019 baru 40,05% rumah tangga di Indonesia yang menghuni Rumah Layak. Permukiman informal yang kian menjamur di sepanjang sempadan sungai perkotaan mengakibatkan masalah-masalah lanjutan seperti permukiman kumuh, bencana alam banjir dan longsor, pencemaran dan menurunnya kualitas air sungai, berkurangnya keanekaragaman hayati pada ekosistem sungai, serta menurunnya jaminan keamanan lingkungan. Dampak tersebut tidak hanya berpengaruh pada fisik lingkungan, namun juga pada aspek sosial dan budaya penduduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun