Yogyakarta dengan segala hiruk pikuk perkotaannya, membuatku dilupakan. Aku ini sudah ada ketika kamu, ia, mereka, mungkin belum ada di dunia ini. Aku dibangun ketika Belanda datang ke kota yang disebut-sebut sebagai kota gudeg dan kota pelajar ini. Terletak di Jalan Sultan Agung, Yogyakarta, yang menjadi poros utama atau jalan utama kota ini, membuatku bertanya-tanya, mengapa aku dilupakan? Bukannya seharusnya aku mudah diingat? Toh, kalian, mereka selalu melewati jalan ini. Oh, aku tahu, mungkin wujudku yang kini tidak berupa, itu karena dimakan usia.
Aku ingat masa-masa itu, ketika mereka, anak-anak muda tahun 80an, bersenang-senang sembari mengajak kekasihnya, datang padaku. Ya, untuk nonton film yang aku punya, karena itu memang tugasku, menghibur mereka dengan film-film. Gita Cinta dari SMA, kala itu menjadi film andalan yang mereka suka tonton sembari memadu kasih, hingga Trio Warkop DKI, menjadi film andalanku juga untuk membuat mereka tertawa, anak-anak muda tahun 80an. Ah, aku ingat sekali semua memori itu. Kulihat wajah anak-anak, anak muda dan orang tua, mereka senang dengan keberadaanku, kala itu.
Bicara soal sainganku kala itu, aku jadi teringat, waktu itu tahun 60-70an Bioskop Presiden lah yang jadi saingan, musuh terberatku. Tahun berganti, muncul lagi saingan-saingan bagiku, namanya Bioskop Indra, Mataram, Ratih dan Widya. Aku masih bersemangat untuk menjadi lebih baik, semata-mata agar mereka tak pergi dariku. Mereka yang menemaniku dan membesarkan namaku, kala itu.
Menjadi bioskop peninggalan Belanda, membuat bentuk tubuhku terlihat bergaya khas Eropa, unik nan menarik. Ditambah pula, sekitar tahun 50an, Jalan Sultan Agung kala itu masih terkesan jalannya orang Belanda, atau komplek orang Belanda. Mereka, meneer-meneer atau londomencari hiburan ya padaku. Apalagi hiburan yang mewah kala itu selain film, opera dan teater? Tidak ada, aku ingat sekali, semua orang terhibur meski masih terbatas pada ketiga hal itu.
Aku juga pernah jadi simbol prestise bagi anak-anak muda Jogja, sekitar tahun 70-80an. Malam minggu, banyak mereka anak muda datang padaku, ya mungkin sekarang aku bisa disamakan layaknya mal ataupun kafe-kafe kekinian. Tapi itu dulu…
Kini
Satu-satunya yang menjadi penjagaku saat ini hanya Pak Arif Hidayat (44). Pria yang dari kecil tinggal di sampingku ini, sudah akrab betul denganku. Apalagi semenjak aku terbengkalai, ia yang memantauku, setidaknya benar-benar mengecek bahwa keberadaanku memang masih ada. Mereka yang ingin bertanya-tanya soal masa jayaku dulu, pasti akan bertemu dia.
“Ya, seperti ini bioskop permata sekarang, dulu tuh namanya bioskop Luxor, pas jaman belanda, tapi setelah merdeka ganti nama jadi bioskop permata,” kata Arif. Pak Arif bercerita banyak tentangku, mulai dari tanah tempatku berdiri ini sebelumnya adalah kuburan Jawa kuno, hingga aktivitas-aktivitas kala itu, sebelum aku berdiri. Ia dapat cerita dari leluhur-leluhurnya.
Ia juga bercerita mengapa aku bisa jaya, hingga kemudian tutup tak berdaya. “Dulu itu tahun 70-90an masih jaya-jayanya, trus akhir 90an udah mulai menurun penontonnya, filmnya juga sedikit dan gak menarik, tambah lagi banyak bioskop baru dan bagus yang muncul,” terang Arif sembari mengingat bahwa ia dulu sering bermain di sekitaran bioskop ketika masih anak-anak.
Aku benar-benar mati dan menutup mata dalam aktivitas perbioskopan sekitar tahun 2012. Kala itu, ketika akhir senjakalaku, mereka yang datang hanya sekitar 3 sampai 5 orang saja yang datang menonton film. Sungguh ironis, mengingat aku yang masih eksis di tahun 90an, justru mati di tahun 2000an. Bahkan kini, aku tidak bisa lagi disebut bioskop karena aku tidak punya alat-alat proyektor film dan alat untuk memutar film lainnya. Ya, semua sudah dikembalikan kepada pemilik, aku benar-benar kosong, organ-organ dan jantungku pun mungkin juga sudah tidak ada.