Mohon tunggu...
Nicolas Dammen
Nicolas Dammen Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Magister Filsafat STF Driyarkara, Advokat, Certified Legal Auditor, Certified Mediator, Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Advokat Indonesia

sedang memelihara minat menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengenal Hak Imunitas Dokter dalam Undang-undang Kesehatan

24 April 2024   20:58 Diperbarui: 25 April 2024   07:43 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang yang menjalankan profesinya dengan baik haruslah mendapat perlindungan hukum. Dalam rangka mendapat perlindungan hukum itu, setiap profesi lalu membentuk wadah perkumpulan dan memiliki suatu majelis kehormatan untuk memeriksa setiap pengaduan sesuai dengan standar profesi masing-masing. 

Memang seyogianya yang berwenang menilai pelanggaran disiplin profesi adalah dari unsur organisasi profesi itu sendiri, meskipun tak jarang legitimasinya sering dipertanyakan karena akan ada anggapan saling melindungi sesama anggota seprofesi, namun terlepas dari hal tersebut, disitulah letak tantangan bagi setiap majelis kehormatan profesi untuk menjaga integritasnya supaya legitimasinya di masyaratkat dihormati. 

Salah satu profesi penting dalam kehidupan kita adalah profesi dokter, namun betapun pentingnya profesi tersebut tetap saja menjumpai berbagai resiko, salah satunya adalah resiko hukum. Sadar akan perlunya hak-hak tertentu dalam mengahadapi proses hukum, akhirnya hukum itu sendiri memberi dokter suatu 'imunitas' di hadapan hukum, semacam kekebalan bersyarat. Kekebalan yang hanya berlaku apabila memenuhi syarat-syarat tertentu.

Hak Imunitas dari Hakim

Dulu, sebelum berlakunya Undang - undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan atau sering dikenal dengan sebutan Omnibus Law Kesehatan, melaporkan atau menggugat dokter adalah hal yang mudah dilakukan oleh setiap pasien. Meskipun saat itu dalam Undang-undang Praktik Kedokteran dikenal suatu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi, namun proses di MKDKI tidak menjadi halangan bagi pasien untuk melaporkan ataupun menggugat seorang dokter yang diduga melakukan kelalaian. 

Hal itu disebabkan karena memang Undang-undang Praktik Kedokteran yang berlaku saat itu membolehkannya dan juga diduga akibat kekeliruan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dalam menyusun peraturan terkait. Dugaan kekeliruan itu misalnya dalam Pasal 79 Peraturan Konsil Kedokteran No. 50 Tahun 2017 (Perkonsil 50 Tahun 2017) disebutkan bahwa putusan MKDKI tidak dapat dijadikan bukti dalam perkara pidana dan perdata, bahkan biasanya dalam setiap putusan MKDKI ditambahkan lagi, tidak dapat dijadikan bukti dalam proses peradilan tata usaha negara. 

Aneh dan cukup terkesan ototitatif memang, namun dapat dimengerti jika niatnya awalnya untuk melindungi profesi dokter dari berbagai potensi itikad buruk menggunakan upaya hukum. Namun sebaliknya disitulah letak terbukanya peluang mempermasalahkan dugaan kelalaian praktik kedokteran ke berbagai institusi hukum, sebab secara otoritatif jalur penyelesaian sengeketa medis oleh KKI telah ditutup rapat-rapat dalam Perkonsil 50 Tahun 2017, akhirnya pasien yang merasa dirugikan tetap mencari alternatif penyelesaian sengketa medis ke institusi penegak hukum lain dengan kesumatnya yang kian membara.

Hak imunitas dokter sebelum berlakunya Omnibus Law Kesehatan justru merupakan 'hadiah' dari hakim-hakim yang mengadili sengeketa medis. Dalam beberapa putusan tentang sengketa medis, majelis hakim menolak gugatan pasien dengan pertimbangan hukum bahwa belum ada putusan MKDKI yang menyatakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh dokter ternyata menyimpang dari penerapan disiplin ilmu kedokteran. 

Hadiah Imunitas dokter dari hakim itu tentu saja tidak diberikan semata-mata untuk melindungi profesi dokter seperti upaya yang dilakukan oleh KKI dalam Perkonsil 50 Tahun 2017, tetapi suatu argumen timbul dari penalaran hukum seorang hakim. Penalaran hukum (legal reasoning) penerapan prinsip berpikir lurus (logika) dalam memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum.

Hak Imunitas dari Undang-undang

Sekarang, hak imunitas bagi dokter dan tenaga kesehatan telah dijamin dalam Omnibus Law Kesehatan, maka seorang dokter dan tenaga kesehatan dapat saja menolak hadir memberi keterangan dalam suatu proses hukum sepanjang belum ada rekomendasi dari Majelis Kehormatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun