Menimbang, bahwa dalam perkara ini Terdakwa yang mengerti dan menyadari dampak dari postingan-postingannya, dimana Terdakwa dengan latar belakang sebagai public pigure yaitu anggota Grup band Superman is dead yang memiliki fans yang cukup banyak yang tersebar di seluruh Indonesia, maka dipastikan Terdakwa mempunyai pengaruh untuk direspon oleh orang banyak, hal mana terbukti postingan-postingan Terdakwa menghasilkan komentar yang pro dan kontra sebagai ungkapan rasa kebencian atau permusuhan antara kelompok yang saling berbeda posisinya, maka postingan-postingan Terdakwa tidak dapat dikatagorikan sebagai kritikan belaka karena dilandasi oleh ketidaksukaan, kekecewaan, kejengkelan yang berlebih, sehingga Terdakwa membuat postingan-postingan tersebut yang mengandung rasa kebencian atau permusuhan terhadap IDI."
Rumusan pertimbangan hukum tersebut di atas adalah didasarkan pada fakta adanya postingan Terdakwa tanggal 13 Juni 2020 mengenai IDI Kacung WHO tersebut telah dapat menginspirasi orang lain /warga masyarakat (para Netizen) dengan banyaknya komentar komentar negatif yang menyiratkan kebencian kepada IDI, postingan tersebut mendapat jumlah like sebanyak 56.958 dan komentar sebanyak 3.394 pertanggal 29 Juli 2020. Meskipun sebenarnya Undang-Undang Dasar justru memberi kebebasan kepada individu dengan menjamin hak dan kebebasan berekspresi dengan menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan saluran yang tersedia. Akan tetapi hakim justru lebih memilih pada kekuatiran akan dampak dari postingan Terdakwa yang dikuatirkan dapat menginspirasi orang di dunia maya kehilangan kepercayaan pada alat-alat negara untuk menanggulangi Covid-19.
Di tengah situasi pandemi Covid-19, hakim benar-benar lebih memilih memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat yang sedang menghadapi pandemi Covid-19 dengan membenarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum bahwa akibat postingan Terdakwa di media sosial dikuatirkan akan mengakibatkan tenaga medis dan tenaga kesehatan mengalami ketidakpercayaan dari masyarakat yang dapat mengakibatkan pemerintah gagal menanggulangi Covid-19 sehingga membawa hal tidak menyenangkan bagi masyarakat secara luas. Padahal Imanuel Kant telah mengingatkan bahwa yang secara moral benar adalah yang bernilai pada dirinya sendiri, didasarkan atas perintah mutlak dan tak bersyarat (categorical imperative) dan bukan perintah bersyarat (hypothetical imperative). Jadi semestinya alat-alat negara yang diberi kewenangan dalam penanggulangan Covid-19 seharusnya bertindak otonom dan tidak perlu merasa terhina apalagi melaporkannya secara pidana pihak-pihak yang menyampaikan pendapat berbeda mengenai Covid-19.
Pertimbangan hukum oleh hakim yang mengadili perkara ini dari sudut pandang utilitarian telah tidak diimbangi dengan prinsip keadilan sebagaimana yang disyaratkan oleh Franz Magnis-Suseno agar teori utilitarianisme tidak menjadi suatu teori yang buruk. (Franz Magnis-Suseno, 1987 : 127). Akibat kegagalan itu, penerapan etika utilitarianisme dalam putusan hakim telah menimbulkan masalah serius yaitu pelanggaran terhadap hak asasi manusia si Terdakwa demi melindungi kerugian semu dari suatu lembaga yang memang bertugas untuk memberi pelayanan kesehatan terlepas dari mendapat dukungan atau diacuhkan, karena memang secara otonom menurut Kant, itulah yang menjadi kewajibannya dan harus dilakukan. Persoalan penerapan etika utilitarianisme tentu saja telah menjadi masalah besar dalam kasus ini. Apalagi belakangan terungkap fakta bahwa memang ada dalam kasus orang-orang yang meninggal bukan karena Covid-19 namun secara sepihak oleh rumah sakit dinyatakan meninggal karena Covid-19. Â Meskipun bukan berarti kita memandang remeh akibat-akibat mematikan dari Covid-19 dan menutup mata terhadap jasa para tenaga medis dan tenaga kesehatan, melainkan semestinya hakim bertindak arif dan bijaksana dalam memberi pertimbangan hukum agar dari proses peradilan tersebut dapat dicapai keadilan.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa Etika Utilitarianisme bukan tanpa masalah jika diterapkan dalam tataran praktis di dunia hukum. Ia bisa saja jadi pelarian hakim dengan alasan kepraktisan penggunaannya dengan lebih mementingkan kepentingan nasional atau orang banyak meskipun pada dasarnya bertentangan dengan hukum. Setiap hakim yang menjatuhkan vonis perkara di pengadilan seharusnya memutuskan sanksi hukum kepada subjek terhukum atas dasar etika. Keputusan hakim di pengadilan bukan pertama-tama untuk menghukum terdakwa, melainkan untuk melindungi moralitas dan nilai-nilai etis dalam realitas kehidupan. Dengan ini seorang hakim terhindar dari kesempitan perspektif dimana hanya menghukum seseorang tanpa kesadaran moral-etis di dalamnya. Jika seorang hakim memutuskan hukuman tanpa kesadaran moral-etis, keputusan itu kurang adil bagi terdakwa. Maka suatu putusan benar-benar harus dilandasi oleh nilai etika dan maksud baik bagi kebaikan terdakwa di masa depan (Fios, Frederikus, 2012 : 306).
Utilitarianisme kadang dianggap menjadikan manusia sebagai dimensi statis yang boleh saja dieksploitasi sedemikian rupa untuk mengungtungkan pihak-pihak tertentu (Pranowo, Yogie. 2020:178). Anggapan ini bisa saja benar, karena memang syarat utama sebagaimana disebutkan Franz Magnis-Suseno agar utilitarianisme tidak menjadi teori yang buruk adalah haruslah diterapkan dengan prinsip keadilan, tanpa prinsip keadilan utilitarianisme dalam putusan hakim tak lebih dari sekedar kenaifan belaka yang justru mendatangkan ketidakadilan. []
Daftar Pustaka:
Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta. Gramedia.
Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.
Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Rahayu, Kartika Muji. 2018, Sengketa Mazhab Hukum, Sintesis Berbagai Mazhab dalam Pemikiran Hukum. Jakarta: Gramedia.