Mohon tunggu...
Nicolas Dammen
Nicolas Dammen Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa Magister Filsafat STF Driyarkara, Advokat, Certified Legal Auditor, Certified Mediator, Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Advokat Indonesia

sedang memelihara minat menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mempersoalkan Penerapan Etika Utilitarianisme dalam Pertimbangan Putusan Hakim

2 Februari 2024   04:30 Diperbarui: 2 Februari 2024   04:41 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jadi menurut Mill, kebahagiaan haruslah dapat diukur secara empiris dengan berpedoman pada orang yang bijaksana dan memiliki pengalaman hidup, karena orang demikian dapat memberi kepastian tentang kualitas kesenangan, dimana kualitas kesenangan itu dapat diukur secara empiris (K. Bertens, 2000 : 249). Selain itu, menurut Mill, kebahagiaan satu orang saja tidak dapat bertindak sebagai pelaku utama, tetapi kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam kejadian. Maka seorang raja sekalipun haruslah diperlakukan sama dengan rakyat biasa. Inilah yang menurut perkataan Mill: "everybody to count for one, nobody to count for more than one." Jadi kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Maka suatu perbuatan dinilai baik dalam hal kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, yang mana kebahagiaan semua orang yang terlibat haruslah diperhitungkan dengan cara yang sama pula.

Kelemahan-kelemahan teori Bentham sesungguhnya dapat dengan mudah diperlihatkan yaitu karena prinsipnya untuk kebaikan orang banyak lalu dengan utilitarianisme kita lalu akan membenarkan perampokan toko-toko orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, padahal perbuatan tersebut sejatinya adalah buruk dan menjadikan orang menjadi tidak menghargai hak individu, padahal hak itulah yang justru ingin dibela.

Perkembangan teori utilitarianisme memuculkan pendekatan yang lebih parktis yaitu munculnya utilitarianisme aturan. Filsuf Inggris-Amerika, Stephen Toulmin membedakan utilitarianisme sebagai utilitarianisme tindakan dan utilitarianisme aturan.  Konsep dari utilitarisme tindakan adalah tidak ada peraturan umum yang dengan sendirinya dapat dibenarkan secara moral, maka setiap tindakan harus dipertimbangkan akibat baiknya atau manfaatnya bagi semakin banyak orang yang tekait dengan tindakan tersebut. Utilitarianisme tindakan cukup bermasalah untuk dipraktikkan, misalnya dalam praktik pengambilan keputusan orang tidak setiap kali membuat pertimbangan baru untuk melihat akibat dari setiap tindakannya. Sehingga menjadi sulit membayangkan bahwa orang dapat hidup tanpa peraturan sama sekali. Setiap pernyataan moral mengandung unsur bahwa pada prinsipnya dapat berlaku untuk tindakan-tindakan lain yang sejenis walaupun akibatnya mungkin tidak persis sama. Hal inilah yang menyebabkan utilitarisme tindakan dapat dengan mudah dapat disalahgunakan untuk membenarkan tindakan yang melanggar hukum dengan dalih bahwa akibatnya membawa keuntungan bagi lebih banyak orang daripada kerugian yang ditimbulkannya.

Utilitarisme yang kedua, yakni utilitarisme peraturan. Dalam varian teori ini, yang dititikberatkan bukan lagi hanya akibat baik dan buruk dari masing-masing tindakan, melainkan dari peraturan umum yang mendasari tindakan tersebut. Sehingga yang dipersoalkan sekarang adalah akibat baik dan akibat buruk dari suatu peraturan kalau diberlakukan secara umum. Maka kaidah dasarnya menjadi berbunyi: “Bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah atau peraturan yang penerapannya menghasilkan akibat baik yang lebih besar bagi semakin banyak orang dibandingkan akibat buruknya.” Dalam Utilitarisme Tindakan, suatu perbuatan mencuri satu kaleng roti dari sebuah super-market untuk dibagikan kepada orang-orang miskin dapat dibenarkan, akan tetapi dalam utilitarisme peraturan tindakan tersebut tidak dapat lagi dibenarkan, karena kaidah itu telah menjadi peraturan yang berlaku umum. Oleh karena itu, sudah tentu bahwa akibat buruknya justru jauh lebih besar daripada akibat baiknya, sebab sikap hormat terhadap hak milik orang lain akan hilang. Dengan demikian Utilitarisme Peraturan lebih memadai dibandingkan Utilitarisme Tindakan. Sebenarnya, bukan berarti bahwa teori utilitarianisme itu ada yang buruk, tetapi prinsip agar diusahakan akibat baik yang sebanyak mungkin dan sikap mau bertanggungjawab atas semua akibta tindakan-tindakan mengungkapkan suatu yang hakiki bagi penilaian moral, asal saja diimbangi  dengan prinsip keadilan (Franz Magnis-Suseno, 1987 :127).

Etika utilitarisme ini kerap kali menjadi dasar pertimbangan bukan hanya dalam urusan pemerintahan melainkan juga kerap digunakan hakim dalam memberikan perdasaran dalam pertimbangan hukumnya saat akan memutus suatu perkara hukum di pengadilan. Salah satu kasus yang pertimbangan hukumnya kelihatannya menggunakan etika utilitarianisme adalah pertimbangan hakim dalam kasus I Gede Aryastina atau akrab dikenal dengan panggilan Jerinx. Kasus Jerinx bermula ketika ia melaui media sosial menuliskan tuduhan-tuduhan kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan kata-kata IDI Kacung WHO. Lalu pihak IDI merasa tersinggung dan merasa jika dokter-dokter telah terganggu kinerjanya dan para dokter kehilangan kepercayaan dari masyarakat dalam rangka membantu menangani Covid-19, sehingga IDI Wilayah Bali melaporkan Jerinx yang merupakan pemilik account media sosial yang menuliskan kata-kata tersebut. IDI wilayah Bali beranggapan jika informasi pada media sosial tersebut ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama ras dan antara golongan (SARA) dan untuk perlindungan hukum entitas yang tidak terwakili dalam SARA.

Hakim dalam memberi pertimbangan hukum misalnya dalam Putusan Nomor 828/Pid.Sus/2020/PN.Dps, bahwa unsur ketiga dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yaitu terhadap unsur perbuatan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan /atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dalam pasal 28 ayat (2) Jo. Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana pertimbangan hukum pada halaman 113 s/d 115 Putusan Nomor 828/Pid.Sus/2020/PN.Dps, yang berbunyi sebagai berikut:

"Menimbang, bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas, terhadap postingan Terdakwa tanggal 13 Juni 2020 mengenai IDI Kacung WHO tersebut telah dapat menginspirasi orang lain /warga masyarakat (para Netizen) dengan banyaknya komentar komentar negative yang menyiratkan kebencian kepada IDI, postingan tersebut mendapat jumlah like sebanyak 56.958 dan komentar sebanyak 3.394 pertanggal 29 Juli 2020;

Menimbang, bahwa Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 memang menjamin hak dan kebebasan berekspresi dengan menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan saluran yang tersedia;

Menimbang, bahwa Jaminan Konstitusioanal kebebasan untuk berkomunikasi dan berpendapat ini telah dielaborasi lebih jauh dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, menyatakan bahwa orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebar luaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa;

Menimbang, bahwa akan tetapi kebebasan yang dimiliki setiap orang bukan berarti berhak dan bebas untuk menyerang kehormatan orang lain. Halmana merupakan perbuatan yang dilarang dalam hukum karena merupakan pelanggaran terhadap nilai nilai yang hidup dalam masyarakat;

Menimbang, bahwa pembatasan bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat, seperti diatur didalam ketentuan pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 pasal 70 dan pasal 73 UU No.39 Tahun 1999 yang pada intinya menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang Undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain demi untuk keadilan, pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun