Penggunaan instrumen hukum dalam kasus kata-kata yang memenjarakan di atas tak lebih dari sekedar pertengkaran yang diformalkan. Jadi hukum seakan memfasilitasi pertengkaran diadakan di ruang-ruang pengadilan. Lalu pengacara, hakim dan jaksa ibarat badut ikut menyoraki pertengkaran itu. Akhirnya mereka dengan jengah mengambil untung dari adegan itu. Hukum tidak diciptakan untuk tujuan seperti itu!
Penggunaan instrumen hukum sebagai bentuk kesadaran hukum adalah keadaan ideal. Namun merefleksikan tren penggunaan instrumen hukum oleh warga negara sebagaimana sejumlah kasus pencemaran nama baik yang telah terjadi, menjadi jelas bahwa pelakunya terjerat dalam penggunaan kata-kata yang memenjarakan karena rendahnya kesadaran hukum dan penggunaan instrumen hukum pun tidaklah didasari dengan kesadaran hukum tetapi hanyalah bentuk kegagapan berhadapan dengan hukum. Memenjarakan seseorang atas suatu perbuatan yang dilarang semata tanpa menimbulkan kerugiannya nyata adalah sungguh berlebihan. Cukuplah kata-kata dilawan dengan kata-kata. Diskursus akan lebih bermanfaat ketimbang tuntutan di hadapan hakim yang memboroskan anggaran institusi hukum. Suatu diskursus akan membawa pada ide dan inovasi, tetapi suatu tuntutan hukum atas kata-kata hanya akan membawa kita pada pertengkaran aneh dan tidak rasional. Toh, argumentasi hukum putusan hakim pun hanya akan berputar-putar pada masalah moral. Padahal, bukankah H.L.A. Hart misalnya menentang dengan sengit penyatuan hukum dengan moral sebagaimana tergambar jelas dengan perdebatan-perdebatannya dengan hakim Devlin, (Hart, 1958:443) karena kompatibilitas suatu ajaran moral tidak sepenuhnya diterima di ruang publik.
Keadaan ini berimplikasi pada penggunaan instrumen hukum yang menyimpang dari fungsi hukum itu sendiri yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat. Instrumen hukum sangat berpotensi digunakan untuk memeras orang yang malah menguntungkan secara materi bagi pelapor maupun aparat penegak hukum yang korup. Potensi daya rusak dari cara kerja ini sangat fatal karena menimbulkan ketidakpercayaan pada institusi negara. Warga negara menjadi pesimis terhadap pemerintah dan pemimpin, sehingga dukungan terhadap program pemerintah selalu direspon sinis.
Cukuplah kata-kata dilawan dengan kata-kata. []
Daftar Pustaka:
Bentham, Jeremy. 2006. Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata Dan Hukum Pidana (Theory of Legislation and Introduction to the Principles of Morals and Legislation). Bandung: Nusamedia.
Dilman, Ilham, 1999, Free Will: An Historical and Philosophical Introduction, London: Routledge.
Friedman, M. Lawrence,1984, “What is a Legal System” in American Law, New York, W.W Norton and Company.
Fischer, John Martin., Robert Kane, Derk Pereboom, Manuel Vargas. 2007. Four Views on Free Will. Malden: Blackwell Publising Ltd.
Howard, A. E. Dick, 1981, The Wilson Quarterly, Summer.
H.L.A. Hart, 1974, Positivisme dan Pemisahan Hukum dan Moral, Harvard Law Review.