Asrama dari para santri dan santriwati terletak di daerah yang berbeda dengan posisi santri terletak lebih dekat dengan masjid Pondok Pesantren. Ada sebutan unik yang diperkenalkan oleh para santri untuk menyebutkan ruang tempat tinggal mereka yaitu sebagai "kobong." Biasanya ditinggali oleh lebih dari 6 orang santri dan kebetulan pada saat kami ikut melihat, mereka sedang menyapu dan merapikan kobong mereka. Solidaritas teman-teman santri terlihat dari suasana yang ramai dan aksi saling membantu satu dengan yang lain.
Lebih daripada itu, para santri dan santriwati juga menempuh pendidikan formal di tingkat SMP dan SMA dengan mengikuti pembelajaran seperti Matematika dan Sejarah Perkembangan Agama Islam yang pada saat itu sempat kami kunjungi dan ikuti dinamika belajarnya dalam ruang-ruang kelas. Antusiasme yang mereka tunjukkan dalam mendengarkan materi sambil mencatat dalam buku masing-masing mendorong diri untuk berjuang lebih dalam menempuh pendidikan di sekolah.
Hal yang tidak kalah indah dan menarik dari proses belajar kami di Pondok Pesantren adalah mengikuti dinamika acara di masjid yang mana pada saat itu sedang dilakukan pembagian hadiah bagi pemenang lomba Hari Santri Nasional. Beberapa teman Kanisian juga dipersilahkan untuk menampilkan lagu sambil bermain gitar untuk teman-teman santri dan santriwati.
Pada momen tersebut, kami bernyanyi bersama dan tentunya merasakan kebersamaan yang tentunya menyentuh hati. Momen itu juga pertama kalinya saya bisa masuk ke dalam masjid dan saya sangat kagum akan arsitektur bangunan beserta dengan kondisi masjid yang bersih dan nyaman untuk umat muslim dapat beribadah.
Tentu ada perbedaan yang sangat terasa antara aktivitas kami dengan para santri dan santriwati. Biasanya kami pergi ke sekolah dan pulang, hari sudah sore. Belum lagi jika ada les pelajaran tambahan atau tugas-tugas yang harus dikumpulkan di esok hari. Jadinya, seharian itu betul-betul hanya berkutat pada hal-hal akademik.
Di Pondok Pesantren berbeda, pada jam subuh, santri dan santriwati sudah bangun dan mulai beribadah di masjid kemudian dilanjutkan dengan serangkaian kegiatan mengaji. Lalu, dilanjutkan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah sampai dengan mengelola sektor pangan yang tadi sudah disebutkan. Santri dan santriwati rajin dalam mengikuti sholat lima waktu dan dalam dinamika mengaji juga, adik-adik yang di tingkat SMP, di beberapa kesempatan diuji pelafalannya oleh kakak kelasnya dalam membaca ayat-ayat suci.
Setelah melepaskan lelah di curug, kegiatan pun ditutup dengan makan siang liwetan. Di atas daun pisang yang membentang panjang, sambil mendekatkan diri ke dalam alam itu sendiri dan mempererat kebersamaan kami dengan para santri dan santriwati. Melalui liwetan ini, saya belajar bahwa rasa bahagia itu tidak harus selalu datang dari hal-hal yang mewah dan megah. Akan tetapi, bisa muncul dari sebuah kesederhanaan dan tentunya bersama dengan orang-orang yang kita kasihi, kita sudah bisa merasakan hal yang sama.
Berkembang Bersama
Semua pengalaman yang telah menjadi memori yang tidak terlupakan seumur hidup, akan menjadi bekal kami kedepannya sebagai seorang pelajar, penerus bangsa, dan agen perubahan untuk dapat membawa hal-hal positif ke dalam lingkungan masyarakat. Dari kegiatan ini kami telah merangkum dan merefleksikan berbagai kebudayaan di Indonesia menjadi suatu hal yang patut kita apresiasi dan rayakan. Terkait keberagaman, Indonesia dibanding negara-negara lain pastinya lebih unggul, tetapi sekarang yang menjadi fokus utamanya adalah bagaimana kita bisa menerima kenyataan itu dengan rasa saling menghormati dan tentunya toleransi.
Kerendahan hati menjadi salah satu aspek penting yang saya ambil dalam proses belajar di Pondok Pesantren. Dengan demikian, rasa penasaran saya terus muncul sehingga komunikasi itu akan selalu terjalin dan terbentuk di antara kita. Ketika di lingkungan sekolah sendiri, saya memang sudah terbiasa berinteraksi teman yang mayoritas agamanya Katolik, tetapi ketika mengenal dan sharing satu sama lain dengan para santri dan santriwati, saya merasa tidak ada sebuah perbedaan yang menghambat interaksi saya dengan mereka. Justru, dengan perbedaan itu, topik pembicaraan menjadi semakin luas karena muncul rasa ingin tahu tentang kebiasaan satu sama lain.
Begitupun, bagi para pengurus Pondok Pesantren Al-Ittifaq beserta dengan para santri/santriwati yang telah juga bersedia, antusias, dan terbuka menerima kami sebagai pelajar untuk dapat menambah wawasan serta mempererat relasi yang tentunya dalam konteks keberagaman.
Banyak nilai-nilai kehidupan yang saya terima dari dinamika selama di Pondok Pesantren dan saya akhirnya begitu merasakan senang ketika bisa mengalami bertoleransi satu sama lain ditengah kesibukan kami di minggu-minggu tersebut.
Tentunya pesan yang paling penting dari Om Dandan dan Teh Silvi sebagai pengurus Pondok Pesantren Al-Ittifaq adalah tetap mempertahankan tali silaturahmi antara kami dengan mereka. Apabila berkesempatan untuk datang di lain waktu akan sangat disambut baik.