Kali ini saya ingin mencoba menulis dan mengulas kembali salah satu cerita paling berkesan yang saya alami tahun 2022.
Memang cerita ini terjadi saat Maret 2022 lalu, namun rasanya sangat disayangkan apabila semua itu hanya tertanam di benak saja dan tidak tertuang menjadi memori berupa tulisan. Oleh sebab itu, di penghujung 2022 ini saya ingin mencoba membagikan apa yang saya lihat dan alami saat itu.
Ya, sesuai dengan judul yang sudah terpampang di atas, saya akan menceritakan mengenai salah satu Mahakarya Tuhan lewat indahnya Gunung Merbabu.
Sebenarnya bisa dibilang bahwa saya bukanlah pecinta gunung yang begitu “bucin” kalo kata anak zaman sekarang. Bahkan seumur hidup saya, ini barulah pendakian kedua saya setelah sebelumnya menaklukan puncak Prau pada Desember 2019.
Memang pandemi Covid-19 cukup menjadi momok dan banyak merenggut waktu berharga saya untuk menjajaki indahnya karya Tuhan lewat bentangan permadani di atas awan. Hingga dikala PPKM sudah sedikit dilonggarkan, akhirnya titik gairah saya untuk mendaki gunung sudah tak tertahankan lagi.
Maret 2022 menjadi pendakian kedua yang menurut saya inilah pendakian yang sesungguhnya. Jika boleh membandingkan, semua proses dan rintangan kali ini berkali-kali lipat lebih menantang daripada puncak Prau yang sudah saya kunjungi sebelumnya.
Awal perjalanan....
Dimulai dari kami yang sebelumnya menginap di salah satu rumah teman kami di Magelang. Sekitar pukul 07.00 pagi, kemudian kami sarapan sejenak sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju basecamp Suwanting.
Suwanting merupakan salah satu jalur pendakian di Gunung Merbabu yang memiliki pesona sabana yang cantik dan luas. Tak ada alasan khusus selain memang belum pernah mencobanya, dan karena indahnya pemandangan di sana. Walaupun sebenarnya jalur pendakian lain juga mesti tak kalah bagusnya.
Kurang lebih pukul 08.30 kami sudah tiba di basecamp Suwanting dan bersiap untuk melanjutkan pendakian. Namun siapa sangka, perjalanan dari basecamp Suwanting sudah menjadi tantangan tersendiri bagi saya.
Baru kurang lebih mendaki jalanan menanjak sekitar 500 meter menuju gerbang pendakian, rasanya jantung berdebar sangat kencang dan keringat dingin mulai bercucuran.
Aku pun tak mengerti apa yang terjadi saat itu. Hanya saja ku menduga ini adalah hasil dari aku yang jarang olahraga selama pandemi hahaha. Tapi kalo boleh jujur, saat itu rasanya ku ingin menyerah dan tak ingin melanjutkan pendakian.
Hingga ku tergeletak dan terlentang di tengah jalanan berbatu sambil bersandar dengan tas carrier dan menatap panasnya matahari. Aku yang tiba-tiba lemas kemudian mencoba menenangkan diri sejenak.
Beberapa saat kemudian, temanku yang tahu bahwa aku tertinggal dari rombongan kemudian menghampiriku dan menanyakan keadaanku. “Heee kamu kenapa?”, katanya.
Sontak keadaan menjadi cukup rusuh ketika akhirnya rombongan harus mendapati cobaan di saat baru mendaki yang padahal belum jauh dari basecamp pendakian. (Hahaha, maaf ya teman-teman).
Beberapa dari mereka kemudian menunggu di salah satu rumah warga, dan beberapa lainnya menghampiriku di tempat tergeletak.
Aku yang rasanya tidak sanggup melanjutkan perjalanan kemudian sempat menjawab dengan suara pelan “Aku balik aja…”.
Namun dengan kesabaran dan keyakinan bahwa aku baik-baik saja, mereka tetap menungguku sembari aku menenangkan dan memantapkan diri lagi.
Sesaat berselang, akhirnya aku merasa tubuhku sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Badanku perlahan kian sudah kembali hangat. Akhirnya aku memutuskan turun sejenak ke rumah warga untuk buang air dan cuci muka.
Saat semua terasa baik-baik saja dan aku yakin dengan keadaanku, akhirnya aku menarik ucapanku bahwa aku ingin melanjutkan perjalanan.
Singkat cerita akhirnya perjalanan berlanjut dan kami sempat membeli bekal nasi rames di rumah warga sebelum berangkat menuju pos satu.
Perjalanan berlangsung seperti pendakian gunung pada umumnya. Jalanan menanjak, jalanan berbatu, halang rintang ranting pohon, dan lain sebagainya.
Canda tawa dan gurau dari para pendaki lain juga terdengar sepanjang perjalanan. Hingga kemudian satu per satu rombongan mulai membuat jarak yang semakin jauh.
Sesampainya di pos dua, kami beristirahat sejenak dan makan bekal yang sudah kami beli sebelumnya. Mengingat perjalanan masih panjang, tak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju pos tiga.
Di sinilah rintangan terberat harus kami lalui. Jalanan yang semakin berat dan menanjak, bahkan licin dan juga melelahkan. Semua harus ditambah dengan dinginnya udara dan air hujan yang kala itu turun cukup deras.
Mau tidak mau, perjalanan harus tetap berlanjut walau dengan tempo yang sedikit melambat. Dengan sisa-sisa tenaga, kami lanjut menapakkan langkah menuju pos tiga. Pos tiga merupakan area camp di mana kami bisa mendirikan tenda di sana sebelum menemui puncak.
Dalam perjalanan menuju pos tiga, terdapat sebuah mata air di mana air nya dapat kami ambil untuk minum dan membersihkan diri. Ini menjadi tempat istirahat dan menghela nafas terbaik. Walau sesekali kami harus terpeleset sebelum sampai di sana.
Bahkan kakiku juga sempat terkantuk batang kayu tua yang melintang di tengah jalan. Ya rasanya cukup sakit walau hanya disentuh, apalagi sampai lebam saat itu.
Namun aku tahu ini belum usai…
Dengan semangat teman-temanku yang juga masih membara, dan sisa-sisa tenaga yang masih ada, akhirnya kami bisa melewati terjalnya perjalanan menuju pos tiga dan sesampainya di sana kami langsung mendirikan tenda.
Hawa yang semakin dingin memaksa kami harus mendirikan tenda lebih cepat. Pakaian dan sepatu yang sudah kotor terkena lumpur di perjalanan juga harus kami lepas sebelum memasuki tenda. Akhirnya tenda selesai dibangun dan kami berkumpul di dalamnya.
Kurang lebih 8.5 jam kami habiskan di perjalanan dan kami tahu ini bukanlah pendakian yang biasa. Sekitar pukul 17.30, akhirnya kami bisa menyelonjorkan kaki dan mengistirahatkan badan di dalam tenda.
Hangatnya api dari kompor kecil menjadi harapan satu-satunya untuk kami yang kedinginan kala itu. Memakai kantong tidur (sleeping bag) dan duduk berhimpitan juga kami lakukan untuk sama-sama menghangatkan badan sembari membuat minuman hangat.
Lelah yang rasanya tak ingin lepas dari badan kami memaksa kami akhirnya harus istirahat lebih cepat malam itu. Banyak dari kami yang bahkan tak berpikiran untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak di pagi harinya.
Rencana kami yang awalnya akan melakukan pendakian dini hari akhirnya harus batal akibat badan yang terlampau lelah dan hujan yang kala itu masih turun. Niat melihat sunrise akhirnya harus kami urungkan dengan lapang dada.
Namun siapa sangka,...
Saat kami membuka pintu tenda pukul 06.30 pagi, langit sangat cerah dan menunjukkan pemandangan yang indah. Tenda-tenda berwarna-warni juga memanjakan mata dan ternyata ramai juga yang mengidam-idamkan puncak Merbabu.
Kami yang semalam berselimut rasa malas dan lelah yang mendalam akhirnya mulai kembali bersemangat dan melihat harapan yang kami nanti-nantikan.
Tak lama kami bersiap-siap dan melanjutkan pendakian ringan melewati sabana sebelum akhirnya melihat puncak yang kami dambakan.
Dengan sepatu yang masih dingin dan cukup basah, akhirnya kami mulai jalan dan menapaki hijaunya sabana yang membentang luas dan indah. Bahkan baru melihat sabana saja perasaan gembira dan excited luar biasa terlintas di benak saya pribadi.
Rasa lelah yang sebetulnya masih saya rasakan, seketika hilang dan terbayarkan melihat indahnya semua Mahakarya Tuhan di atas Gunung Merbabu ini.
Harapannya jika Tuhan masih memberikan umur panjang dan kesehatan yang tiada hentinya, menjelajah gunung ini berulang kali pun rasanya aku tak rugi.
Dari sinilah aku semakin menyadari mengapa banyak orang berbondong-bondong ingin naik gunung.
“Terkadang prosesnya memang tidak menyenangkan. Namun jika kita setia pada proses yang ada, niscaya hal indah pasti akan kita dapatkan di akhirnya. Bahkan lebih dari yang belum pernah kita pikirkan sebelumnya”.
Ini adalah beberapa potret indahnya Gunung Merbabu dari atas jalur Suwanting.
Usai kami puas menghabiskan waktu di atas dan melihat indahnya pemandangan di sana, akhirnya kami turun ke pos 3 dan mulai berkemas untuk kembali ke basecamp.
Seperti biasa, jalan pulang tentu akan terasa lebih cepat. Apalagi di gunung yang memang jalannya menurun. Kurang lebih pukul 15.00 kami sampai di basecamp dan mengurus segala administrasi sebelum akhirnya kembali pulang ke kos kami masing-masing di Yogyakarta.
SELESAI.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semoga secuplik kisah ini bisa kembali menyegarkan ingatan Anda bagi yang sudah pernah naik gunung, dan sekaligus bisa menjadi gambaran bagi Anda yang belum pernah naik gunung. Selamat mencoba dan jangan lupa follow IG saya untuk share ceritanya ya! @nicholas_feby. Thank you!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H