Menengok kilas balik film Stip & Pensil yang telah tayang perdana di bioskop sejak 19 April 2017 lalu, ternyata masih cukup menarik dan membuat saya tak hilang kagum atas film ini. Sejarah dan jalan cerita yang luar biasa membuat saya seolah turut merasakan mirisnya keadaan dalam film tersebut.Â
Sayangnya, saya bukanlah penonton film ini dalam penayangan perdananya di layar lebar kala itu. Alasannya cukup klise karena saya bukanlah tipe seseorang yang gemar menonton film. Namun pada kesempatan lain ketika saya menonton film ini seolah cukup menyisakan bekas yang luar biasa di memori saya.
Awal mula saya saya menonton film ini yaitu pada saat film tersebut telah tayang pada layar kaca yang mana disiarkan oleh salah satu stasiun televisi. Kalau saya tidak salah ingat, waktunya itu pada akhir Desember 2019 lalu. Film yang berdurasi 98 menit ini berhasil menangkap atensi saya karena mampu menyajikan hal kompleks dengan cara sederhana, sehingga saya mampu merasakannya secara ringan dan tidak berpikir terlalu berat.
Alasan lain kesukaan saya dalam film ini adalah tingkat kebosanan yang hampir tidak pernah saya rasakan sepanjang menonton film ini. Film bergenre drama yang dikemas dalam balutan komedi membuat saya berhasil fokus dengan berbagai adegan yang disuguhkan.Â
Cerdas dan menariknya film ini adalah mampu menyelipkan unsur komedi namun tidak menenggelamkan masalah utama yang diangkat. Semua elemen yang ada seolah mendukung isu atau permasalahan yang diangkat supaya tetap menjadi fokus utamanya.Â
Menurut saya, ini adalah salah satu film terbaik yang mampu menyentil isu sosial dan bahkan menampilkannya lewat kelas sosial yang ada di masyarakat. Jelas bukan hal yang mampu dielakkan lagi, kelas sosial yang ada di masyarakat hingga saat ini masih bertumbuh dan mampu ditangkap oleh mata telanjang. Tak heran, sejak beberapa menit kita menonton film ini sudah mampu mengimajinasikan ke mana arah film ini selanjutnya.
Berawal dari adegan pertemuan dengan salah satu tokoh yang merupakan anak jalanan adalah titik mula film ini berlangsung. Ucok yang kala itu sedang mengamen di jalanan tidak sengaja menemui Tony dan teman-temannya yang kala itu mengalami masalah teknis terkait mobil yang mereka tumpangi.Â
Dari awal perjumpaan ini juga sudah tampak bagaimana strukturasi yang ada. Di sini digambarkan bagaimana Tony, Aghi, Bubu dan Saras adalah geng atau kelompok dari seseorang yang berasal dari kelas atas.
Hal tersebut dapat dilihat dari mobil mahal yang ditumpanginya. Selain itu, gaya berpakaian serta tatanan rambut yang ada seolah menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang-orang dari kalangan biasa.Â
Apalagi adegan film yang memperlihatkan mereka bersekolah di SMA favorit. Beda halnya dengan Ucok yang beralaskan sandal biasa, berpakaian lusuh, rambut tidak tertata, serta kulit dan wajah yang kusam. Semua penggambaran bahwa Ucok adalah masyarakat dari kelas bawah dapat terlihat begitu saja.Â