Ronggeng".Â
Hal yang cukup membuat saya tergelitik dengan kisah cinta mereka adalah adanya jurang pemisah yang ada di antara keduanya. Sang Penari (2011) mampu menggerakkan pola pikir saya akan sakralnya budaya asli suatu daerah. Srintil mengetahui bahwa adanya tuntutan yang cukup besar ketika menjadi seorang "Kesenian Ronggeng umumnya dikenal sebagai kesenian khas Jawa dengan menampilkan penari wanita yang tampil di sebuah pertunjukan tari (Medan Tribunnews.com, 2020).Â
Tak hanya berhenti di syarat wanita saja, untuk mendapatkan gelar Ronggeng seorang wanita juga harus dalam keadaan perawan dan konon dipilih oleh Indang atau leluhurnya (Ki Secamenggala).Â
Hal tersebut menunjukkan bahwa aliran budaya masih kuat di zaman itu. Pergumulan Srintil menjadi ronggeng terjadi akibat adanya pertentangan hati dengan apa yang menjadi idamannya (Rasus), atau mengabdi sebagai wujud bakti lestari dengan menjadi ronggeng.
Ya... koe mbok ngerti, nek arep dadi ronggeng ya mesti bukak klambu. Nek ora pengen bukak klambu ya ora usah dadi ronggeng.
-Ucap Rasus pada Srintil yang mengalami pergulatan menjadi Ronggeng (Sang Penari, 2011).
Konsekuensi dari budaya "Ronggeng" adalah timbulnya citra tertentu pada realitas masyarakat. Implikasi sosial yang tercermin dalam diri seorang Ronggeng menunjukkan nilai yang dianggap melanggar norma sosial. Seorang ronggeng akhirnya di cap sebagai perempuan yang memiliki citra kurang baik di masyarakat.Â
Hal tersebut terjadi di awal kondisi masyarakat yang belum mengetahui akan sejatinya citra Ronggeng. Ronggeng adalah hal yang kompleks karena berkaitan dengan perempuan. Dahulu Ronggeng dianggap tabu dan memiliki citra negatif (Prof. Dr. Endang Caturwati, 2020).
Berkaitan dengan Ronggeng ada pula yang dinamakan "bukak klambu", ini berarti Ronggeng harus menyerahkan keperawanannya pada lelaki yang berani bayar mahal (Olyvia, 2017).Â
Ritual "bukak klambu" menggambarkan bagaimana seorang Ronggeng akhirnya bermesraan dengan laki-laki yang berhasil memenangkan harga tertinggi di malam itu.Â
Menjadi kebanggaan juga bagi sang istri dari lelaki yang berhasil menggendak Ronggeng. Sebenarnya, tak hanya nilai itu yang ingin digambarkan, melainkan adanya suatu harapan bahwa laki-laki tersebut akhirnya mampu menghamili istrinya.
Apabila kita menelaah lebih jauh dan berkaca pada produksi film ini, Ifa Isfansyah (Sutradara) film ini sebenarnya ingin menggambarkan film ini dengan paradigma fungsionalisme.