Mohon tunggu...
Nicholas Arga Satria Pasaribu
Nicholas Arga Satria Pasaribu Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Kanisius

Ad Maiorem Dei Gloriam.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Doktor Honoris Causa untuk Raffi Ahmad: Nilai Apresiasi Akademis

8 November 2024   22:49 Diperbarui: 9 November 2024   01:09 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemberian gelar doktor kehormatan (honoris causa) kepada Raffi Ahmad oleh Universal Institute of Professional Management (UIPM) Thailand baru-baru ini menggemparkan masyarakat luas dan memicu perdebatan sengit, khususnya di media sosial. Banyak pihak mempertanyakan dasar pemberian gelar ini, mengingat gelar doktor selama ini dipandang sebagai simbol prestasi akademis tinggi yang hanya diberikan kepada individu dengan jasa atau kontribusi luar biasa dalam ilmu pengetahuan maupun masyarakat. 

Gelar tersebut, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1980, seharusnya melambangkan kontribusi yang signifikan dalam bidang akademik. Namun, keputusan UIPM dianggap kontroversial karena Raffi Ahmad lebih dikenal sebagai selebriti dan pembawa acara yang dianggap tidak memiliki kontribusi yang cukup dalam dunia akademik atau ilmiah.

Keputusan ini turut mendapat tanggapan dari sejumlah pengamat pendidikan yang memiliki beragam pandangan. Beberapa dari mereka mendukung langkah UIPM dengan alasan bahwa Raffi telah memberikan dampak positif di dunia hiburan dan mampu menginspirasi generasi muda. 

Di sisi lain, tidak sedikit yang merasa bahwa penghargaan tersebut justru merendahkan nilai gelar akademis di Indonesia. Hal ini memunculkan keraguan mengenai apakah popularitas semata bisa dijadikan landasan pemberian gelar kehormatan. 

Publik semakin mempertanyakan kredibilitas UIPM setelah seorang warganet menemukan bahwa institusi ini tidak berbasis di kampus, melainkan di sebuah hotel. Temuan ini menimbulkan keraguan lebih lanjut tentang kapasitas UIPM sebagai lembaga pemberi gelar doktor kehormatan, terutama terkait dengan kelengkapan fakultas, dosen tetap, dan Guru Besar yang sesuai dengan bidang ilmu yang relevan dengan penghargaan tersebut. 

Fenomena pemberian gelar kehormatan kepada tokoh populer seperti Raffi Ahmad sangat berbeda dengan praktik yang diterapkan di negara-negara maju. Di negara-negara seperti Swedia, gelar honoris causa diberikan kepada individu yang telah memberikan kontribusi besar di bidang akademik, sosial, atau kemanusiaan. 

Para penerima gelar tersebut tidak hanya dikenal luas, tetapi juga dihormati karena kontribusi intelektual dan sosial mereka yang signifikan. Dalam konteks ini, di Indonesia, popularitas di mata publik sering kali lebih dihargai daripada substansi atau kontribusi konkret. 

Sebagai perbandingan, di Inggris, selebriti yang mendapatkan gelar kehormatan adalah mereka yang telah menunjukkan dampak yang nyata di bidang sosial atau amal. Contohnya adalah Emma Watson, yang mendapatkan gelar doktor karena perannya dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Pemberian gelar tersebut mencerminkan penilaian yang lebih ketat terhadap kontribusi seseorang di masyarakat. 

Di Indonesia, kasus Raffi Ahmad memperlihatkan bahwa kriteria pemberian gelar ini tidak selalu jelas, menciptakan kesan bahwa popularitas dapat mengalahkan suatu substansi. 

Bayangkan seorang guru yang telah mengabdikan puluhan tahun hidupnya di pelosok terpencil, mengajar tanpa fasilitas yang memadai, dan sering kali menggunakan biaya pribadinya demi keberlangsungan pendidikan anak-anak di sana. Ia berjuang di tengah keterbatasan, jauh dari gemerlap perhatian publik, hanya berbekal keyakinan bahwa pendidikan dapat mengubah nasib anak-anak desa tersebut. 

Ketika akhirnya ia menerima gelar doktor honoris causa, penghargaan itu seolah menjadi pengakuan yang terlambat atas pengorbanannya yang sunyi selama bertahun-tahun. Ironisnya, di dunia yang lebih banyak menghargai ketenaran daripada kerja keras tanpa pamrih, penghargaan ini mencerminkan betapa jarangnya kontribusi nyata mendapat sorotan yang layak dalam masyarakat. 

Di sisi lain, seorang entertainer seperti Raffi Ahmad menghibur jutaan orang melalui layar kaca dan acara televisi. Meskipun kontribusinya dalam dunia hiburan sangat berarti, dampaknya lebih bersifat rekreatif dan tidak sepenuhnya dapat disamakan dengan kontribusi akademis atau sosial yang memberikan pengaruh besar dengan jangka panjang. 

Saat mempertimbangkan pemberian gelar kehormatan, pertanyaan mendasar muncul tentang apakah seorang selebriti, meskipun terkenal, layak menerima penghargaan di ranah akademis. Hal ini kemudian memunculkan diskusi penting mengenai esensi dan nilai dari gelar kehormatan itu sendiri.

Pemberian gelar doktor honoris causa yang ideal adalah seperti yang diterima oleh Nelson Mandela, yang diberikan oleh banyak universitas di seluruh dunia. Penghargaan ini diberikan tidak hanya karena popularitasnya, tetapi lebih kepada kontribusi nyata yang dia berikan dalam memperjuangkan kesetaraan ras dan kebebasan di Afrika Selatan. 

Mandela telah menginspirasi dunia melalui tindakannya yang heroik dan penuh pengorbanan. Sebab itu, pemberian gelar kepada Mandela menjadi contoh nyata bahwa gelar kehormatan seharusnya diberikan kepada seseorang yang telah memberikan dampak signifikan bagi masyarakat maupun ilmu pengetahuan. 

Tidak dapat dipungkiri jika pemberian gelar doktor honoris causa kepada Raffi Ahmad adalah langkah yang terlalu terburu-buru dan kurang memperhatikan nilai substansial dari penghargaan itu sendiri. Hal ini cukup ironis, karena sama saja dengan mempermainkan kepantasan dari gelar kehormatan itu sendiri. 

Gelar kehormatan tidak seharusnya menjadi simbol penghargaan atas popularitas, tetapi sebagai apresiasi atas kontribusi besar dan berkelanjutan bagi masyarakat. Memberikan gelar semata-mata karena pengaruh seorang selebriti di dunia hiburan akan melukai makna dari gelar itu sendiri. Jika benar begitu, maka penghargaan tersebut dapat mengurangi nilai dan pengakuan terhadap kontribusi intelektual dan sosial yang sejati.

Pemberian gelar doktor honoris causa ini dapat diibaratkan seperti memberikan medali emas kepada seorang pelari yang belum menyelesaikan lomba. Pelari tersebut belum mencapai garis finish bahkan mungkin didahului oleh pelari lain, tetapi justru ia yang mendapatkan perhatian dan hadiahnya. 

Seharusnya, seseorang yang meraih gelar akademis telah melewati berbagai rintangan intelektual dan memberikan kontribusi nyata dalam bidangnya. 

Memberikan penghargaan setinggi itu kepada seseorang yang belum membuktikan kontribusi serupa adalah seperti memutarbalikkan logika lomba itu sendiri. Akibatnya, penghargaan yang diberikan menjadi tidak bermakna karena tidak mencerminkan pencapaian yang sebenarnya. 

Dalam sebuah auditorium megah, seremonial pemberian gelar kehormatan tampak meriah dan penuh antusiasme. Para akademisi berbaris dengan jubah kebesaran mereka, sementara para tamu undangan duduk dengan penuh harapan menantikan momen penting tersebut. 

Di panggung utama, sosok selebriti terkenal seperti Raffi Ahmad berdiri, mengenakan toga yang menandakan dirinya sebagai penerima gelar doktor kehormatan. Momen ini terasa kontras dengan lingkungan akademis yang biasanya dihuni oleh para ilmuwan dan cendekiawan, menciptakan kesan yang membingungkan di antara mereka yang menyaksikan penampilan itu.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun